Rabu, Februari 25, 2009

Kekuasaan negara

Negara (sebagai suatu organisasi di suatu wilayah) memiliki kekuasaan untuk memaksakan kedudukannya secara sah terhadap semua golongan yang ada dalam wilayah itu dan menetapkan tujuan kehidupan bersama. Negara berkewajiban menetapkan cara dan batas kekuasaan untuk digunakan dalam kehidupan bersama, sehingga dapat membimbing berbagai kegiatan penduduk ke arah tujuan bersama.

Teori Asal kekuasaan negara

1) Teori Teokrasi

Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan. Pertanyaannya, apakah negara semacam ini pernah ada dan apakah Tuhan sendiri yang memerintah?

Teori Teokrasi tak Langsung: disebut tak langsung karena bukan Tuhan sendiri yang memerintah, melainkan raja (atas nama Tuhan). Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Anggapan ini timbul dalam sejarah pada sekumpulan manusia yang tergabung dalam partai konvensional (agama) di negara Belanda. Mereka berpendapat bahwa raja Belanda dan rakyatnya dihadapkan pada suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari Tuhan untuk memakmurkan negara Belanda, termasuk daerah jajahannya.

2) Teori Kekuasaan

Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes dan Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes membedakan dua macam status manusia: status naturalis - kedudukan manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis - kedudukan manusia setelah menjadi warga negara suatu negara.

3) Teori Yuridis

Teori ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga golongan:

a) Teori Patriarkhal

Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga (primus inter pares = yang utama di antara sesamanya) menjadi pemimpin yang dipuja-puja karena kekuatannya atau jasa dan atau kebijaksanaannya.

b) Teori Patrimonial

Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang berarti hak milik. Karena rajalah pemegang hak milik di wilayah kekuasaannya, maka semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh, pada abad pertengahan hak untuk memerintah dan menguasai timbul dari pemilikan tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Jika perang berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut membela negara akan mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.

c) Teori Perjanjian

Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan oleh tiga tokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau. Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu perjanjian masyarakat yang mengalihkan manusia dari status naturalis ke status civilis.

Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu hidup dalam ketakutan akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat. Maka kemudian diadakan perjanjian masyarakat yang tidak mengikutsertakan raja. Perjanjian diadakan antarakyat. Dalam perjanjian masyarakat (pactum unionis) itu individu-individu menyerahkan hak-hak azasinya kepada suatu kolektivitas, yaitu kesatuan individu-individu. Kolektivitas itu kemudian menyerahkan hak-hak atau kekuasaannya kepada raja dalam pactum subiectionis tanpa syarat apa pun. Itulah sebabnya raja berkekuasaan mutlak (monarkhi absolut).

Sedangkan John Locke menyatakan bahwa perjanjian itu diadakan antara raja dan rakyat, sehingga raja dapat memegang kekuasaannya untuk melindungi hak-hak rakyat. Kalau raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat meminta pertanggungjawabannya, karena yang primer adalah hak-hak azasi yang harus dilindungi oleh raja. Akibat dari perjanjian antara rakyat dengan raja itu timbullah monarkhi konstitusional atau monarkhi terbatas karena kedudukan raja kini dibatasi konstitusi.

Pendapat Rousseau adalah kebalikan dari paham Hobbes. Menurut Hobbes, pactum unionis itu “ditelan” oleh pactum subiectionis. Sedangkan menurut Rousseau justru sebaliknya. Tujuan ajaran Rousseau adalah timbulnya kedaulatan rakyat dan kedaulatan itu tidak pernah diserahkan kepada raja. Kalau pun raja yang memerintah, sesungguhnya kekuasaan pemerintahan itu diperolehnya dari rakyat. Raja adalah mandataris rakyat.
Teori Pemisahan Kekuasaan Negara

John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:

1. Legislatif: kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2. Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3. Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu - seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku “L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku di Inggris:

1. Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat (parlemen);
2. Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3. Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya).

Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.

Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif.

Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?

Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya.

Tidak ada komentar:

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Arwan Sabditama

Kirim Komentarnya ya!!