Rabu, Februari 25, 2009

Tentang P4

Apa yang sebenarnya terjadi mengenai P4 selama Orde Baru ?
Penataran P4 selama Orde Baru menekankan penafsiran Pancasila sebagai ajaran tentang “keutamaan individu”. Pandangan ini harus ditolak, dimana dinyatakan bahwa seolah-olah masyarakat Pancasila baru bisa diwujudkan kalau setiap hidung warga Negara sudah mengerti Pancasila dan mengamalkannya sebagai preskripsi moral individu. Kita pernah keliru melihat seolah-olah Pancasila sudah sangat kuat dengan makin banyaknya warga Negara yang mengikuti Penataran P4 dan semua organisasi social politik sudah memasang Pancasila sebagai satu-satunya asas.



Bagaimana seharusnya ?

Yang benar adalah : masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma dasar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan Negara memang benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.



Jadi, siapa yang terutama dan pertama-tama melaksanakan Pancasila ?

Penyelenggara Negara, karena Pancasila adalah dasar Negara (“philosofische grondslag”, “Staatsfundamentalnorm”, “Pokok Kaidah Fundamentil Negara”), dan sebagai dasar Negara, Pancasila mengatur perilaku Negara, yang terwujud dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam system norma hukum, kita mengenal adanya hokum tertulis dan hokum tidak tertulis. Di Negara Republik Indonesia, hukum tertulis dari hari ke hari terus mendesak peranan hukum tidak tertulis. Dengan makin besarnya hokum tertulis telah menyebabkan peranan penyelenggara kekuasaan Negara dalam pembentukan hokum menjadi sangat penting. Karena itu pemahaman dan penghayatan penyelenggara kekuasaan Negara terhadap dasar Negara Pancasila juga sangat penting, karena mereka itulah yang menentukan pembentukan hokum tertulis.



Bagaimana posisi rakyat terhadap Pancasila ?

Kontrol social terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan Negara harus dipertajam, dengan ‘melawan’ monopoli para politisi, pejabat Negara, dan birokrat untuk menentukan begitu saja apa yang baik bagi masyarakat. Dengan pemahaman rakyat yang baik atas Pancasila dan kedudukanya sebagai dasar Negara, akan menjadikan Pancasila sebagai ideology kritis di tangannya. Atau dengan kata lain, pemahaman yang baik atas Pancasila akan memungkinkan rakyat menggunaka Pancasila sebagai ideology kritis untuk memeriksa apakah prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan Negara sudah sesuai dengannya.



Bagaimana Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa ?

Staatsfundamentalorm mempunyai akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa, dasar yang membentuk Negara tersebut, sebagai consensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri Negara. Mengapa founding fathers Negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai consensus dasar berdirinya Negara ? Kalau kita ikuti “suasana kebatinan” yang terungkap dalam siding-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar Negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar Negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar Negara karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa.



Apa perbedaan dan bagaimana hubungan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai Cita-cita Moral Bangsa ?

Pancasila sebagai dasar Negara (Staatsfundamentalnorm), yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan norma tertinggi dalam hirarki system norma hokum Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm) yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam system norma hokum. Sebagai dasar Negara, Pancasila seharusnya juga menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma itu. Sedangkan sebagai cita-cita moral bangsa, Pancasila berada di luar system norma hokum, yang berfungsi konstitutif dan regulative terhadap norma-norma yang ada dalam system norma hokum. [Posisi Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa ini dapat kita temukan dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu mewujudkan (merupakan perwujudan dari) Rechtsidee (cita-cita hokum) yang menguasai hokum dasar Negara, baik hokum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis]



Apa yang dimaksud dengan fungsi konstitutif dan regulative Pancasila ?

Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa memiliki fungsi konstitutif yang menentukan dasar dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan; dan memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah peraturan perundang-undangan yang dibentuk itu merupakan peraturan yang adil atau tidak adil. Terhadap tata hukum yang berlaku dapat ditanyakan apakah preskripsi moral yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hokum Indonesia merupakan tata hokum yang benar; dan disamping itu juga memiliki fungsi regulative yang menentukan apakah hokum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hokum yang adil.



Apa itu “Cita-cita moral bangsa” ?

“Cita-cita moral bangsa” adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi moral bagi bangsa tersebut untuk tercapainya cita-cita yang diinginkan bersama. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi sebagai “bintang penuntun” (Leitsteren) untuk tercapainya cita-cita masyarakat. Meskipun Leitstern itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin dicapai, tetapi Leitstern itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji dan melakukan control atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjadi pedoman dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atas problematic yang dihadapi, termasuk juga di sini ketika Indonesia dihadapkan pada problematika globalisasi, misalnya.



*) Bahan wawancara, Soedarjanto, Makalah “Membasiskan Pancasila”, Maret 2007

Tidak ada komentar:

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Arwan Sabditama

Kirim Komentarnya ya!!