Sabtu, Januari 30, 2010

Impeachment atau Pemakzulan

Istilah to impeach menurut Webster’s New World Dictionary berarti “to bring (a public official) before the proper tribunal on the charges of wrongdoing”[1]. Sementara impeachment itu sendiri sinonim dengan kata accuse [2] yang berarti mendakwa atau menuduh. Sementara Encyclopedia Britanica menguraikan pengertian impeachment sebagai “a criminal proceeding instituted against a public official by a legislative body”. Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga ‘impeachment’ itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal, proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut ‘impeachment’ itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban. Beberapa kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan juga kasus impeachment atas Roh Moo Hyun di Korea Selatan, telah menunjukkan bahwa proses pendakwaan tidak identik dengan pemberhentian presiden. Pendakwaan yang diproses pada awalnya oleh parlemen tidak selalu berakhir dengan berhentinya presiden atau wakil presiden atau pejabat publik lainnya dari jabatannya. Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat Bill Cinton di’impeach’ oleh “House of Representatives”, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian. Karena itu, harus dibedakan antara perkataan “impeachment’ dengan “removal from office” yang berarti pemberhentian dari jabatan. Seperti dikatakan oleh Jethro K. Lieberman, “Impeachment is the means by which the federal officials may be removed from office for misbehavior”. Lembaga ‘impeachment’ ini hanyalah sarana untuk memungkinkan dilakukannya pemberhentian terhadap pejabat publik, tetapi hasilnya tergantung proses pembuktian hukum dan proses politik yang menentukan kemungkinan dilakukan atau tidaknya pemberhentian itu.

Sidang impeachment merupakan sidang politik, sehingga padanya tidak dikenal sanksi pidana denda maupun kurungan. Namun demikian, setelah di-impeach, seorang pejabat negara dapat disidangkan kembali dalam peradilan umum dengan proses penuntutan yang dimulai dari awal sesuai dengan dakwaan yang ditujukan atasnya.

Proses impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang oleh lembaga legislatif sebagai bentuk dari fungsi kontrol parlemen atas tindak-tanduk setiap pejabat publik yang telah diberikan amanat oleh rakyat untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Dan apabila semasa jabatannya pejabat publik tersebut melakukan pelanggaran baik yang telah diatur oleh konstitusi maupun hukum positif yang berlaku, maka terhadap yang bersangkutan dapat dihadapkan pada proses impeachment yang mengarah pada pemecatan yang bersangkutan dari jabatannya.

Di Indonesia istilah pemakzulan tidak tertulis dalam konstitusi UUD 1945. Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.

Mekanisme Impeachment


Di negara manapun, kedudukan presiden sangatlah vital dalam menentukan perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya. Dalam hal ini, kekuasaan presiden secara atributif diperoleh berdasarkan konstitusi. [1] Berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara, presiden melakukan pengangkatan duta dan konsul, pemberian gelar dan tanda jasa, serta pemberian grasi, amnesti, abolisi, serta rehabilitasi, dan sebagainya, termasuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Bentuk-bentuk aktivitas ini dapat dilakukan oleh presiden sebagai kepala negara tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan MPR.

Adapun kekuasaan presiden secara derivatif diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan dalam bentuk pemberian kuasa (Mandaatsverlening) dan melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab (delegatie). [2]

Proses permintaan pertanggung jawaban presiden pada masa sebelum perubahan UUD 1945, sangat terkait pada berbagai ketentuan yang telah disepakati pada tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, selain Bila oleh DPR presiden dianggap melanggar haluan negara[3] yang telah ditetapkan oleh MPR, maka Majelis dapat diundang untuk sebuah persidangan istimewa yang meminta pertanggungan jawab presiden. Dalam hal ini presiden, sesuai konstitusi, bertanggung jawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan bentuk pertanggungan jawab politis yang diberi sanksi, yakni dengan kemungkinan MPR setiap waktu melepas presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau kemungkinan presiden dijatuhi hukuman pemecatan (op straffe van ontslag) dari jabatan sebelum habis masanya.[4] Bentuk pertanggungan jawab seperti ini termasuk dalam kategori pertanggungan jawab dalam arti luas karena ada sanksinya. [5]

Tentunya sanksi yang dikenal dalam hukum tata negara adalah sanksi politis, bukan sanksi pidana.Adapun penerapannya, menurut ketentuan maupun praktek ketatanegaraan yang berlaku hingga saat ini adalah pada saat penyampaian pidato pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Apabila dalam pelaksanaannya ternyata kinerja pemerintah dianggap mengecewakan oleh MPR, dan karenanya pidato pertanggungjawaban yang disampaikan itu kemudian ditolak oleh MPR, maka bila itu terjadi saat Sidang Umum, secara etis presiden tidak dapat mencalonkan diri lagi pada pemilihan untuk periode berikutnya. Sedangkan bila hal tersebut terjadi pada saat berlangsungnya Sidang Istimewa MPR atas permintaan DPR sehubungan dengan tidak diperhatikannya memorandum kedua yang disampaikan DPR, maka penolakan pidato pertanggungjawaban tersebut berimplikasi pada keharusan presiden untuk mundur dari jabatannya. Dengan demikian jelas bahwa presiden tidak neben, akan tetapi untergeordnet kepada Majelis, dan karenanya proses ke arah pemecatan presiden sebagaimana impeachment di Amerika Serikat dimungkinkan dalam konstitusi kita.

Dalam kehidupan ketatanegaraan RI sebelum perubahan UUD 1945, MPR dapat memberhentikan presiden sebelum habis masa jabatannya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang menjelaskan alasan pemberhentian tersebut sebagai berikut:

a. Atas permintaan sendiri;
b. Berhalangan tetap;
c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. DPR melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, termasuk segala tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. Namun apabila DPR menganggap Presiden telah melanggar Haluan Negara, maka sesuai Pasal 7 ayat 2 Tap MPR No.III/MPR/1978, DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa apabila dalam waktu 3 bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. Apabila dalam waktu 1 bulan memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan oleh Presiden, maka sesuai dengan ayat 4 pasal yang sama, DPR dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.

Sebelum menjalankan tugasnya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR dengan ucapan:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):[6]

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang- Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Janji Presiden (Wakil Presiden):

“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Bila ditelaah lebih lanjut, sumpah dan janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diuraikan di atas, merupakan pernyataan formil atas komitmen moral Presiden dan Wakil Presiden dalam hal penegakan supremasi hukum tanpa pandang bulu, termasuk dalam hal ini apabila yang melakukan pelanggaran hukum itu adalah Presiden sekalipun. Namun sayangnya ketentuan konstitusi ini hanya berhenti sampai di sini saja. Tidak ada ketentuan yang konkrit mengatur tentang pemberhentian presiden dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 [7] menyatakan bahwa, presiden harus diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya apabila ia mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Ketentuan ini hanya mengatur tentang suksesi kepemimpinan negara, sehingga dalam kondisi sebagaimana yang dimaksudkan itu, tinggal melakukan proses penggantian saja dengan pengisian jabatan yang lowong oleh Wakil Presiden.

Pembedaan antara kedua fungsi penuntut dan pemutus itu penting agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam proses peradilan terhadap seorang pejabat publik. Dalam sistem parlemen bikameral seperti di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan lain- lain, kedua kamar parlemen yang ada selalu dibagi atau masingmasing menjalankan satu dari kedua fungsi itu secara seimbang. Jika Senat yang diberi hak untuk menuntut, maka yang menjatuhkan vonisnya adalah DPR. Sebaliknya, jika DPR yang menuntut, maka Senatlah yang memutuskan. Di Jerman juga demikian, jika Bundesrat yang menuntut, maka Bundestag yang memutus, atau sebaliknya jika Bundestag yang menuntut, maka Bundesrat yang memutus.

Di samping itu, dalam proses pendakwaan itu sendiri tercakup pula dua aspek penting, yaitu (a) aspek penuntutan atau permintaan pertanggungjawaban yang dihubungkan dengan dugaan kesalahan yang dilakukan, dan (b) aspek pembuktian kesalahan dan kemampuan yang bersangkutan untuk bertanggungjawab. Dalam sistem presidentil, dugaan kesalahan itu selalu dikaitkan dengan pelanggaran norma hukum. Hanya pelanggaran yang bersifat hukum sajalah yang dapat dijadikan alasan untuk mendakwa atau menuntut pertanggungjawaban seorang pejabat publik dengan kemungkinan diberhentikan dari jabatannya. Karena sifat pelanggaran itu, maka timbul persoalan mengenai proses pembuktiannya. Banyak pihak yang berpendapat bahwa proses pembuktian kesalahan yang timbul karena pelanggaran yang bersifat hukum haruslah dilakukan menurut prosedur hukum tertentu oleh lembaga pengadilan. Parlemen sebagai lembaga politik dianggap tidak selayaknya menjatuhkan putusan atas dasar pembuktian politik. Atas dasar pemikiran demikian itu pulalah maka dalam konstitusi Amerika Serikat ditentukan bahwa dalam perkara ‘impeachment’, sidang Senat harus dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung. Padahal, dalam keadaan biasa, sidang pleno Senat selalu dipimpin oleh Wakil Presiden yang menjadi sebagai Ketua Senat secara ex-officio.

Dengan cara demikian, proses pembuktian kesalahan yang bersifat hukum itu dianggap cukup dilakukan oleh Senat, karena Ketua Mahkamah Agung sudah berperan dalam mengambil putusan. Namun demikian, mekanisme demikian sebenarnya dapat dianggap kurang realistis karena mencampuradukkan logika hukum dan logika politik sekaligus dalam forum persidangan Senat yang dipimpin Hakim Agung. Proses pembuktian dan proses pengambilan keputusan Senat itu betapapun juga mestilah memiliki nuansa politik yang sangat tinggi. Karena itu, kedudukan dan peranan Ketua Mahkamah Agung di dalamnya tidaklah menjamin berjalannya logika hukum sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan terhadap ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, di kalangan ahli hukum tata negara Indonesia berkembang pandangan bahwa proses pembuktian hukum itu haruslah dipisahkan dari proses politiknya. Pembedaan istilah proses politik dan proses hukum disini sebenarnya juga mengandung kelemahan, seolah-olah proses politik yang berlangsung di parlemen bukan merupakan proses hukum. Karena itu, pembedaan yang lebih akurat untuk ini adalah antara proses hukum tatanegara dan proses hukum pidana. Kalaupun istilah yang dipakai adalah proses politik dan proses hukum, maka sebenarnya yang dimaksudkan adalah proses hukum tata negara, dimana di dalamnya tercakup pengertian proses hukum pidana yang terkait dengan pembuktian ada tidaknya pelanggaran pidana berat yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Oleh sebab itu alasan penuntutan atau pendakwaan juga haruslah bersifat hukum pidana, yaitu terkait dengan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang dianggap berat.

Dalam proses hukum (pidana) tersebut, diperlukan adanya pembuktian mengenai:

(a) ada tidaknya kesalahan seperti yang didakwakan, dan (b) dapat tidaknya yang bersangkutan bertanggungjawab terhadap tuduhan kesalahan itu. Mengenai yang pertama, pembuktiannya harus dilakukan oleh pengadilan. Lembaga yang dianggap tepat untuk itu adalah Mahkamah Agug, karena perkara ‘impeachment’ tersebut timbul dalam hubungannya dengan jabatan yang sangat tinggi.Tetapi, di beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusilah yang dianggap lebih tetap menjalankan fungsi pembuktian itu, bukan Mahkamah Agung.


A. Mekanisme Impeachment Dalam Ketentuan UUD Setelah Perubahan

Pejabat negara yang dapat di-impeach di Indonesia menurut UUD setelah perubahan hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan di negara lain dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabat-pejabat tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden serta Pejabat Tinggi Negara adalah objek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment sehingga dapat diberhentikan.[1] Pengaturan bahwa hanya Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada pasal 7A UUD 1945 yang menyebutkan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat,...” Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 [2] maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR) mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada MK. Tahapan kedua proses impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut.

Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945. Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR. [3]

Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ∫ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus disepakati oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna.

B. Alasan-alasan Impeachment Menurut UUD Setelah Perubahan

Alasan-alasan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur secara rinci oleh UUD 1945. Hanya saja contoh-contoh perbuatan atau penafsiran atas bentuk-bentuk perbuatan yang diatur dalam UUD tersebut masih merupakan subyek perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang baru mengadopsi ketentuan tentang proses impeachment, namun perdebatan ini juga terjadi pada negara-negara yang telah mengadopsi mekanisme impeachment sejak lama. Misalkan saja di Amerika Serikat, perdebatan atas penafsiran kata high crimes dan misdemeanor [1] masih merupakan perdebatan yang panjang dan tidak ada suatu bentuk batasan atas perbuatan konkrit yang menunjukkan pada pelaksanaan perbuatan tersebut sehingga seorang Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara Amerika Serikat dapat dituntut atas perbuatan tersebut. Penafsiran kata atas perbuatan tersebut diserahkan kepada DPR (House of Representatives) sebagai landasannya untuk menuntut Presiden,Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara dan kata akhir atas penafsiran high crimes dan misdemeanor menjadi kewenangan hakim dalam pengadilan impeachment untuk mengambil putusan apakah benar Presiden, Wakil Presiden dan/atau Pejabat Tinggi Negara tersebut telah melakukan high crimes dan misdemeanor.

Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa alasan-alasan impeachment adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[2]

Penjabaran atas bentuk-bentuk perbuatan sebagai alasan impeachment tersebut diatur dalam UU yang mengatur mengenai masalah-masalah itu sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (3) UU nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Berikut ini adalah alasan-alasan impeachment dengan bentuk-bentuk perbuatan yang diatur dalam UU-nya :
a. Pengkhianatan Terhadap Negara
b. Korupsi dan Penyuapan
c. Tindak Pidana Berat Lainnya
d. Perbuatan Tercela
e. Tidak Lagi memenuhi Syarat Sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden


C. Proses Impeachment di DPR

UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan [1]. Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan

“Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Mekanisme pengajuan hak menyatakan pendapat ini diatur dalam pasal 182 sampai dengan pasal 188 Peraturan Tata Tertib DPR (Keputusan DPR nomor 15/DPR RI/I/2004-2005).

Pertama-tama, minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden [2]. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.

Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.

Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.

Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.

Tugas Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan dengan Presiden dan atau Wakil Presiden. Dalam melakukan pembahasan atas tuduhan impeachment kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diwakili. Hal ini berkaitan dengan hak subpoena

yang dimiliki oleh Panitia Khusus dalam rangka hak angket atau hak menyatakan pendapat. Hak subpoena adalah memanggil secara paksa seseorang yang dirasakan perlu didengar keterangannya pada penyelidikan yang dilakukan panitia khusus. Bilamana yang bersangkutan tidak hadir dalam pemanggilan yang dilakukan oleh Panitia Khusus maka ada ancaman sandera selama 15 (lima belas) hari. Pengaturan ini adalah aturan lebih lanjut dari ketentuan pasal 30 UU nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Meskipun pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden namun proses penyelidikan yang dilakukan oleh DPR adalah dalam konteks fungsi pengawasan dan hak menyatakan pendapat yang diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Sehingga proses penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah dalam arti sedang menyelidiki perkara pidana sebagaimana yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum. Proses penyelidikan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan tata tertibnya. Selain itu Panitia Khusus dalam melakukan pembahasan juga dapat mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/atau Rapat Dengar Pendapat Umum dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk dengan pengusul. Pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Khusus menjadi bahan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut.

Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/ 3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat tersebut.

Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR [3]

D. Proses Impeachment di MK

1. Kedudukan Pemohon serta Presiden dan/atau Wakil Presiden

Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.

MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.

DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) bahwa “Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK?

Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya[1]. Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggotaanggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR.

Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam proses impeachment di MK?

Dari seluruh ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan memutus sengketa lembaga negara, seluruh pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial. Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan bukanlah untuk saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check) ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.

Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK adalah hak bukanlah kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR dalam persidangan MK tidak benar.

Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/ atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR[2].

2. Syarat Formil Permohonan dan Pokok Perkara

Syarat formil permohonan berarti permohonan tersebut harus mencantumkan hal-hal yang harus dipenuhi diluar dari substansi perkara. Sedangkan pokok perkara berarti permohonan tersebut harus menguraikan secara jelas substansi perkara dan halhal yang dimohon untuk diputus dalam hal ini yaitu benar atau salahnya pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah malakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

a. Syarat formil

Sebagaimana telah disebutkan bahwa syarat formil adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam permohonan mengenai halhal diluar substansi perkara. Secara umum, dalam pelaksanaan hukum acara kewenangan MK selama ini (Pengujian UU terhadap UUD dan Perselisihan Hasil Pemilu) ada 2 (dua) syarat formil permohonan yaitu;
(i) pemohon memenuhi persyaratan legal standing dan
(ii) perkara tersebut termasuk dalam kewenangan MK untuk mengadilinya.


Dalam hal pelaksanaan kewajiban memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, UU MK menambah satu persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh DPR yaitu bahwa DPR harus memenuhi prosedur pengambilan keputusan atas tuduhan impeachment sesuai dengan UUD 1945 (pasal 7B ayat (3)) serta Peraturan Tata Tertib. Persyaratan formil ini secara implisit diatur dalam pasal 80 ayat (3) UU MK yang mengatur ketentuan bahwa pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan yang diatur dalam pasal 7B ayat (3) UUD 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR juga bukti-bukti atas tuduhan impeachment tersebut.

Dengan demikian Sidang Panel Hakim [1] yang melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan harus memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan kemudian wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan memperbaiki permohonan. Dalam hal pemeriksaan syarat formil permohonan memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden maka ada 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi yaitu (i) masalah legal standing, (ii) masalah kewenangan MK untuk mengadili dan (iii) masalah prosedural yang harus dipenuhi DPR dalam mengambil keputusan atas pendapat tersebut.

Konsekuensi bilamana salah satu persyaratan ini tidak dipenuhi maka amar putusan MK akan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima.

b. Pokok Perkara

UUD 1945 dan UU MK seolah membuat klasifikasi pokok perkara tuduhan impeachment kedalam 2 (dua) kelompok yaitu (a) Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan (b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden[1]. Yang termasuk dalam pelanggaran hukum dalam kelompok pertama adalah berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua yaitu syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 serta pasal 6 UU nomor 23 tahun 2003 sebagai penjabaran dari pasal 6 ayat (2) UUD 1945[2].

Akan tetapi pengelompokkan ini tidak membawa dampak hukum yang berbeda. Karena bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan salah satu dari perbuatan melanggar hukum sebagaimana termasuk dalam kelompok pertama maupun

Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana termasuk dalam kelompok kedua maka amar putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR.Namun bila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka amar putusan MK adalah menyatakan permohonan ditolak.


3. Proses beracara di MK


UU MK memberikan batasan waktu 90 hari, setelah permohonan didaftar pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi di kepaniteraan, bagi MK untuk memutus pendapat DPR mengenai tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selama kurun waktu itu ada beberapa tahapan persidangan yang harus dilakukan MK sebelum mengambil putusan.Tahapan sidang pertama yaitu pemeriksaan pendahuluan, tahapan sidang kedua yaitu pemeriksaan persidangan yang didalamnya termasuk sidang pembuktian sebelum akhirnya digelar sidang pembacaan putusan sebagi tahapan akhir.

a. Pemeriksaan Pendahuluan

Pada pelaksanaan hukum acara kewenangan MK yang lain, sidang pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh sidang panel hakim yang terdiri dari 3 orang. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum masuk dalam pemeriksaan pokok perkara.[1] Pada tahapan ini Majelis Hakim wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan.

Berkaitan dengan permohonan dalam perkara memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden maka hal-hal yang perlu diperiksa pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah syarat-syarat formil dan kelengkapan administrasi yang meliputi

1. legal standing

Majelis hakim memeriksa apakah benar bahwa pemohon dalam perkara ini adalah DPR atau kuasa yang ditunjuk oleh DPR.


2. Kewenangan MK untuk mengadili perkara

Majelis Hakim memeriksa apakah benar perkara yang diajukan oleh pemohon termasuk dalam kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini.


3. prosedur pengambilan keputusan DPR

Majelis Hakim memeriksa apakah proses pengambilan keputusan DPR atas pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden telah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 dan Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam rangka memenuhi hal ini maka permohonan DPR hendaknya menyertakan (i) keputusan DPR, (ii) risalah sidang DPR dan (iii) berita acara rapat DPR yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD 1945 dan Peraturan Tata Tertib DPR.


4. Bukti-bukti

Majelis Hakim memeriksa apakah bukti-bukti yang diajukan dalam permohonan telah memadai untuk melakukan proses impeachment di MK. MK juga harus menetapkan standar bukti permulaan yang cukup sehingga proses pemeriksaan pendapat DPR dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya. Analisis Proses Impeachment Menurut UUD 1945

Mengenai standar bukti permulaan yang cukup ini, MK harus mengacu pada standar bukti pada hukum acara pidana mengingat bahwa tuduhan impeachment adalah terutama berkaitan dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK juga harus menetapkan jumlah bukti yang harus diajukan oleh DPR dalam permohonannya. Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, sekurang-kurangnya dibutuhkan 2 (dua) dari 5 (lima) jenis alat bukti yang sah. Apakah MK juga akan menetapkan bahwa DPR harus melampirkan minimal 2 (dua) alat bukti dalam permohonannya ataukah harus lebih? Mengingat bahwa kasus impeachment adalah kasus khusus yang membutuhkan penanganan dan persyaratan yang istimewa.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat-alat bukti yang sah adalah:

a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Bilamana mengacu pada KUHAP maka timbul permasalahan yaitu apakah keterangan saksi dan/atau ahli yang disampaikan dalam rapat panitia khusus DPR dapat digolongkan pada alat bukti yang sah. Hal ini mengingat bahwa saksi dan ahli hanya dapat legitimasi didepan sidang. Apakah rapat panitia khusus DPR termasuk sebagai sidang yang dapat mengangkat saksi dan ahli? UU MK sendiri mengatur bahwa bila pemohon ingin mengajukan saksi dan/atau ahli dalam persidangan maka biodata saksi dan/atau ahli dapat dilampirkan dalam permohonan. Namun lampiran pengajuan nama saksi dan/atau ahli tidaklah Analisis Proses Impeachment Menurut UUD 1945 termasuk dalam kualitas alat bukti yang harus dilampirkan dalam permohonan DPR. Keterangan saksi dan/atau ahli yang diajukan pemohon tersebut menjadi alat bukti bagi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan.

Oleh sebab itu bila mengacu pada jenis alat bukti yang sah menurut KUHAP maka kemungkinannya hanya ada 2 (dua) jenis alat bukti yang sah yang dapat diajukan DPR dalam permohonannya dimana alat bukti tersebut snagat kuat dan tidak lagi menimbulkan perdebatan yaitu alat bukti surat dan alat bukti petunjuk.

Kembali mengacu pada KUHAP, pada pasal 187 KUHAP yang disebut surat adalah surat yang dibuat atas atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yaitu :

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; Dengan demikian, maka berita acara rapat pansus DPR dapat dijadikan alat bukti surat untuk dilampirkan pada permohonan.

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan; Dalam kaitannya dengan proses impeachment, mungkin saja DPR menemukan keputusan atau surat penetapan yang dikeluarkan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang mengarah pada tuduhan impeachment. Temuan DPR atas Analisis Proses Impeachment Menurut UUD 1945 keputusan atau surat penetapan tersebut dapat dijadikan alat bukti bagi permohonan ke MK.

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; Hal ini sama dengan berita acara sebagaimana disebut di huruf (a). Berita acara rapat pansus DPR yang menghadirkan ahli untuk dimintai keterangannya dalam rapat pansus dapat menjadi alat bukti surat. Sedangkan yang disebut alat bukti petunjuk, dengan merujuk pada pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siap pelakunya.


5. Daftar nama calon saksi dan calon ahli

Memeriksa apakah dalam permohonan telah dicantumkan daftar nama calon saksi dan calon ahli. Daftar nama ini menjadi penting mengingat prosedur beracara untuk memutus pendapat DPR ini dibatasi oleh waktu, selain itu karena keterangan yang diberikan oleh saksi maupun ahli merupakan bahan pertimbangan yang berharga mengingat proses beracara di MK dalam rangka memutus pendapat DPR ini bersifat adversarial.

b. Pemeriksaan Persidangan

Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno Majelis Hakim. Dalam persidangan majelis hakim memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan. Pada pasal 41 ayat (2) UU MK yang mengatur secara umum mengenai pemeriksaan persidangan disebutkan bahwa demi kepentingan pemeriksaan maka majelis hakim wajib untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan. Selain itu, demi Analisis Proses Impeachment Menurut UUD 1945


kepentingan pemeriksaan majelis hakim juga wajib meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

Dalam kaitan dengan permohonan pendapat DPR ini maka DPR sebagai pemohon wajib hadir dalam setiap sidang pemeriksaan permohonan pendapat DPR yang digelar oleh MK. Hal ini selain untuk melindungi kepentingan DPR sebagai pemohon dengan mengetahui perkembangan perkara juga agar DPR dapat senantiasa dimintai keterangan yang berkaiatan dengan perkara ini.

Sedangkan bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pihak yang sangat berkaitan dengan perkara ini, meskipun peradilan MK bersifat adversarial dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukan merupakan suatu keharusan, namun demikian kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan amatlah penting untuk menjaga kepentingan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

c. Putusan

Yang menjadi obyek dalam perkara ini adalah pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum dan/atau diduga telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden. Kewajiban MK adalah untuk memberi putusan atas pendapat DPR ini. Oleh karena itu ada 3 (tiga) kemungkinan putusan yang dijatuhkan MK atas perkara ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima bilamana permohonan tidak memenuhi persyaratan formil sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya atau sebagaimana mengacu pada pasal 80 UU MK.[1] Kemungkinan kedua adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak.[2]

Kemungkinan ketiga adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR.[3]

4. Implikasi Putusan MK

UUD 1945 maupun UU MK menyebutkan kewajiban MK untuk memutus pendapat DPR dalam bagian yang berbeda dengan kewenangan MK yang lain.[1] Maka penafsiran atas pemisahan pancantuman ketentuan tersebut adalah bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Permasalahannya adalah apakah pemisahan pencantuman ini juga berdampak pada kewenangan mengadili MK dan sifat putusannya? Pada ketentuan yang mengatur masalah kewenangan MK disebutkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, sifat putusan MK atas empat kewenangan tersebut bersifat final. Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah kewajiban MK hanya disebutkan bahwa MK wajib memberikan putusan. Dengan demikian, apakah hal ini berarti bahwa kewajiban MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR tidak pada tingkat pertama dan terakhir? Dan apakah putusan MK atas pendapat DPR tidak bersifat final ?

Sebelum berangkat pada pembahasan masalah kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta apakah sifat putusan MK juga bersifat final pada perkara memutus pendapat DPR maka untuk mengerucutkan permasalahan perlu dipahami bahwa masalah-masalah tersebut hanya akan muncul apabila putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Apabila putusan MK adalah menolak permohonan atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, Konstitusi telah menutup segala kemungkinan bagi DPR untuk melanjutkan proses impeachment ke MPR.

Ada berbagai macam kelompok pendapat yang menafsirkan hal ini. Kelompok pertama yang melihat bahwa pemisahan kewajiban dari kewenangan-kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan tersebut tidaklah final dan mengikat. Landasan pemikiran kelompok pertama ini adalah karena bilamana putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskan proses impeachment ke MPR.Yang berarti bahwa ada institusi lain setelah MK yang menilai pendapat DPR tersebut. Dan putusan MK bukanlah kata akhir dalam proses impeachment. MPRlah yang memiliki kata akhir atas proses impeachment melalui keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. Putusan MK digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh anggota MPR dalam mengambil keputusan tersebut. Yang kemudian akan timbul permasalahan adalah bilamana Keputusan yang diambil oleh suara terbanyak di MPR berbeda dengan putusan MK karena putusan MK tidak memiliki sifat final dan mengikat. Secara sosiologis, dampak atas perbedaan putusan di dua lembaga negara ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan MK atas pendapat DPR bersifat final dan mengikat.Artinya bahwa putusan MK atas pendapat DPR itu adalah final dari segi yuridis dan seharusnyalah mengikat semua pihak yang terkait dengan putusan ini. Jadi meskipun ada institusi lain yang melanjutkan proses impeachment, yaitu MPR, maka institusi ini tidak melakukan review atas putusan MK yang bersifat yuridis tapi menjatuhkan keputusan dari sisi politis karena menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis. Mengenai kekuatan mengikat dari putusan MK maka sesungguhnya putusan MK ini juga memiliki kekuatan mengikat kepada MPR. Namun ada semacam celah dalam kelompok ini yang berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini juga bersifat non-executable.

Bilamana putusan MK sama dengan keputusan yang diambil oleh MPR maka masih tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan sehingga dia diberhentikan dari jabatannya? Bilamana hal ini dapat dilakukan apakah bukan berarti beretntangan dengan asas ne bis in idem?

Dari perspektif bahwa yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses =impeachment di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem.[2] Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sedangkan Pengadilan Negeri adalah cabang peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem. Namun demikian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa selayaknya pertimbangan hukum serta putusan yang dijatuhkan MK menjadi bahan pertimbangan hakim pengadilan negeri (hakim tinggi bila mengajukan banding serta hakim agung bila mengajukan kasasi) dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tersebut sehingga ada keselarasan putusan hukum antara MK dengan PN (PT maupun MA). Sehingga hakim pengadilan negeri (hakim tinggi maupun hakim agung) tidak melakukan review atas putusan MK.Terkecuali memang bilamana ditemukan bukti baru yang menguatkan kedudukan mantan Presiden dan/atau Wakil Presiden sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukannya ketika menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

E. Proses Impeachment di MPR

Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan tersebut.Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang

Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI)

Pimpinan MPR kemudian mengundang Anggota MPR untuk mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya didalam rapat Paripurna Majelis.

Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap mengambil putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pengambilan Putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah Anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi kuorum.

F. Kesimpulan

Perubahan UUD yang membawa dampak bagi perubahan sistem ketatanegaraan telah merevolusi struktur dan mekanisme ketatanegaraan Indonesia. Model sistem pemerintahan telah berganti dimana dianut sistem pemerintahan Presidensiil dengan didukung oleh adanya mekanisme pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung. Kekuasaan membentuk UU mengalami pergeseran dari Presiden kepada DPR.

Perubahan UUD telah membuat DPR menjadi lembaga yang sangat berdaya, untuk tidak menyebut sangat berkuasa, karena DPR banyak memegang peranan penting dalam jalannya sistem ketatanegaraan. Landasan atas diberikannya kewenangan yang demikian penting di DPR adalah berangkat dari kebutuhan akan adanya mekanisme kontrol yang kuat akibat dari pelajaran rezim otoritarian dimasa lalu yang dipegang oleh penguasa pemerintahan. Mekanisme kontrol yang dilakukan DPR dengan mengawasi jalannya pemerintahan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden ini pula yang menjadi sebuah awal bagi dimulainya proses impeachment di Indonesia.

Proses pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dari jabatannya bukanlah hal yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum perubahan UUD, Indonesia juga memiliki mekanisme bagaimana Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya. Sebagaimana pernah terjadi dalam masa Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Namun demikian proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan (impeachment) melalui proses politik dan hukum baru diadopsi dalam perubahan UUD 1945.

DPR menjadi pemain utama dalam drama impeachment di Indonesia. Diawali oleh tuduhan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat oleh DPR berdasarkan pelaksanaan fungsi pengawasannya, kemudian DPR menjadi pemohon dalam proses impeachment di MK. Bila MK membenarkan pendapat DPR, maka DPR pula-lah yang akan membawa tuduhan tersebut kepada MPR untuk mendapat penyelesaian akhir dari kasus impeachment ini. Pada intinya, impeachment adalah suatu proses yang didesain untuk menjalankan sebuah mekanisme checks and balances dalam kekuasaan.

Alasan-alasan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden ditentukan secara limitatif dalam konstitusi, meskipun alasan-alasan tersebut memiliki penafsiran yang sangat luas dan dapat saja subjektif terutama dalam sebuah lembaga politik di DPR. Alasan-alasan impeachment yang memancing banyak tafsir adalah atas tuduhan “tindak pidana berat lainnya” (high crimes) dan “perbuatan tercela” (misdemeanor). Bahkan di Amerika Serikat serta negara-negara lain yang mencantumkan anasir high crimes dan misdeameanor masih terdapat wacana dan perdebatan yang hebat dalam menafsirkan alasan impeachment tersebut.

Alasan impeachment yang dituduhkan DPR tersebut adalah alasan yang berangkat dari sebuah proses politik dimana kepentingan-kepentingan yang lebih bermain untuk menghasilkan sebuah keputusan. Oleh sebab itu, ada sebuah lembaga yang memberikan legitimasi dalam perspektif yuridis dengan memberikan tafsiran atas tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Lembaga konstitusional yang berwenang untuk memberikan tafsir yuridis atas tuduhan DPR tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Pada posisi ini MK memiliki peranan yang sangat strategis karena MK adalah salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.Akan tetapi pada proses impeachment ini MK tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pribadi yang melakukan “tindak pidana”.Tapi obyek sengketa yang menjadi fokus pemeriksaan MK adalah pendapat DPR. Oleh sebab itu, bilamana ada pengadilan yang memeriksa Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas tuduhan melakukan pelanggaran hukum maka pengadilan tersebut tetap memiliki kewenangan untuk melakukannya dan tidak bertentangan dangan asas ne bis in idem. Karena pengadilan tersebut mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden a quo dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang melakukan tindak pidana. Drama impeachment pada episode persidangan di MK adalah dalam kerangka peradilan tata negara. Sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan yang berupa sanksi pidana.

Jika dan hanya jika putusan yang dijatuhkan MK adalah “membenarkan pendapat DPR” maka DPR dapat melanjutkan proses impeachment ke MPR. Suara terbanyak anggota MPR sesuai dengan prosedur yang diatur oleh konstitusi (Pasal 7B ayat (7) UUD 1945) yang akan menjadi kata akhir dalam persoalan impeachment di Indonesia.

G. Rekomendasi

Meskipun impeachment bukanlah hal yang baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia namun perubahan UUD menyebabkan adanya perubahan sistem ketatanegaraan sekaligus berkaitan dengan mekanisme diberhentikannya Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lembaga-lembaga negara yang terkait dengan proses impeachment harus mempersiapkan perangkat serta ketentuan yang mengatur mekanisme pelaksanaannya. Bukan berarti memprediksi bahwa besar kemungkinan dalam waktu dekat akan ada peristiwa impeachment, namun persiapan yang dilakukan lebih mengarah sebagai antisipasi dan untuk mengisi kekosongan peraturan yang ada. Karena sepanjang sejarah praktek ketatanegaraan negara-negara didunia, proses impeachment yang berhasil dilakukan masih dapat dihitung dengan jari.

Berdasarkan kajian yang dilakukan atas mekanisme impeachment di Indonesia setelah adanya perubahan UUD maka ada beberapa hal yang harus segera dilakukan untuk melengkapi aturan mekanisme impeachment di Indonesia. Rekomendasi tersebut adalah:

a. berkaitan dengan proses impeachment di DPR

DPR memegang peranan kunci dalam proses impeachment karena DPR-lah yang memulai proses impeachment bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, DPR harus segera melengkapi ketentuan dalam peraturan tata tertibnya yang mengatur mengenai proses impeachment. Bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan yang harus dilengkapi adalah mengenai penetapan siapa yang akan mewakili DPR dalam beracara di Mahkamah Konstitusi, mengenai proses dan aturan yang mengikat panitia khusus DPR dalam melakukan penyelidikan atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.

b. berkaitan dengan proses impeachment di MK

MK harus segera menyusun dan menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang mengatur secara rinci pelaksanaan peradilan atas pendapat DPR yang menuduh Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/ atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat. PMK ini harus memuat ketentuan prosedural beracara di MK. Dari awal prosedur mendaftarkan permohonan, isi dan syaratsyarat permohonan, penetapan hari sidang pertama, pemanggilan para pihak, saksi dan ahli, prosedur beracara pada sidang pemeriksaan pendahuluan, prosedur beracara pada sidang pemeriksaan persidangan dan pembuktian, mekanisme rapat permusyawaratan hakim untuk merumuskan putusan, serta isi putusan MK. Salah satu masukan dari hasil penelitian adalah rancangan PMK yang dilampirkan beserta laporan ini.

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Arwan Sabditama

Kirim Komentarnya ya!!