Rabu, Februari 25, 2009

Jalan Demokratis Massa Marhaen

Ketika reformasi naik panggung politik Indonesia, maka salah satu sajian utama pertunjukannya adalah: demokrasi. Apakah gerak teaterikal demokrasi tersebut, selama hampir sepuluh tahun ini telah memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945? Apakah pergeseran dari Orde Baru ke “Orde Reformasi” juga memberikan harapan pada kemungkinan adanya pergeseran struktur sosial rakyat Indonesia, sehingga ketimpangan structural yang ada sejak jaman VOC ini menjadi lebih berkeadilan? Jeffrey Winters telah mengingatkan, bahwa keruntuhan suatu rejim adalah tidak sama dengan keruntuhan oligarkinya. Kasus BLBI, yang menghangat pada tahun-tahun awal reformasi, dan kemudian pelan-pelan menghilang, serta akhir-akhir ini sempat menghangat lagi telah mengindikasikan hal tersebut. Tidak sedikit pula para oligarkh-oligarkh Orde Baru masih malang melintang, bahkan seakan tidak tersentuh.

Bukan Demokrasi, tetapi Poliarki: “Demokrasi Prosedural”
Pada tahun 1979, aparat pemerintah Amerika Serikat bersama dengan para akademisi, kelompok-kelompok perdagangan, pimpinan-pimpinan bisnis dan politisi – politisi yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat membentuk American Political Foundation (APF). Tahun 1981, APF merekomendasikan supaya “Amerika Serikat mempromosikan demokrasi ke luar”. Rekomendasi tersebut diterima oleh pemerintah AS sebagai “Proyek Demokrasi”. Pada tahun 1983, dibentuklah National Endowment for Democracy (NED). Selanjutnya, dalam kebijakan luar negeri, “promosi demokrasi” ini telah menjadi strategi utama Amerika Serikat. Negara-negara seperti, Nikaragua, Philipina, Chile, Panama dan juga Indonesia, satu per satu diterjang oleh “Proyek Demokrasi” ini. Strategi “promosi demokrasi” ini pun tidak lepas dari pergeseran ekonomi politik yang berkembang, yang nyata telah terjadi pergeseran sejak awal tahun 1970-an. Pergeseran tersebut adalah mulai berkembangnya ideologi neoliberalisme, dan memuncak dengan naiknya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri di Inggris dan Ronald Reagen sebagai presiden Amerika Serikat. (William I. Robinson, 1992)
Jika demokrasi yang diusung reformasi adalah merupakan “promosi demokrasi” yang merupakan bagian dari “Proyek Demokrasi” Amerika Serikat, apakah itu berarti demokrasi serta-merta harus ditolak? Ada atau tidak adanya intervensi dari kepentingan asing dalam mengembangkan demokrasi, sebenarnya kita sebagai bangsa telah sepakat bahwa demokrasi adalah jalan yang terbaik, atau mungkin bisa dikatakan sebagai jalan yang lebih sedikit kelemahannya dibandingkan system yang lain. Dan konstitusi mendukung pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengenai “promosi demokrasi” yang disponsori oleh Amerika Serikat, harus dimaknai bahwa yang sebenarnya bukanlah demokrasi yang dipromosikan, tetapi “poliarki”.
Poliarki –pemerintahan para elite dalam negara-nasion- sebagai suatu konsep dikembangkan oleh Robert Dahl. Latar belakang dari konsep ini adalah ketidak setujuan Robert Dahl bahwa rakyat betul-betul bisa memerintah, karena pada kenyataannya yang memerintah adalah hanya segelintir orang saja atau kaum elite. Menurut Dahl, poliarkhi merupakan sebuah tatanan politik yang menghadirkan 7 institusi:
1. Pemilihan pejabat. Kontrol terhadap keputusan-keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional adalah tetap pada pemilihan para pejabat.
2. Pemilihan yang Bebas dan Fair. Pemilihan pejabat yang sering dipilih dan pemilihan yang dilakukan secara fair dengan paksaan termasuk tidak biasa.
3. Hak pilih inklusif. Secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk memberikan suara dalam pemilihan pejabat
4. Hak ikut pemilihan pejabat. Secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk mengikuti pemilihan pejabat.
5. Kebebasan ekspresi. Warga Negara memiliki hak untuk mengekspresikan diri mereka tanpa bahaya hukuman yang keras mengenai persoalan-persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk hak untuk mengkritik para pejabat pemerintah, rejim, tatanan sosio ekonomi, dan ideologi yang berjalan
6. Informasi alternative. Warga Negara memiliki hak untuk mencari sumber-sumber informasi alternative. Di samping itu, sumber-sumber informasi alternative yang ada dilindungi oleh hokum.
7. Otonomi berorganisasi. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk hak-hak yang telah disebut di atas, warga juga memiliki hak untuk membentuk asosiasi atau organisasi independent, termasuk partai-partai politik independent dan kelompok-kelompok kepentingan
Dalam perkembangan selanjutnya definisi-definisi poliarki yang menekankan pluralisme politik dan pemilihan multipartai telah memberikan pengaruh yang besar pada definisi standard ilmu politik tentang demokrasi.
Konsep poliarki ini juga tidak bisa lepas dari tradisi demokrasi a la Joseph Schumpeter. Menurutnya, sebuah negara dikategorisasikan “…sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih melalui jalur pemilihan umumyang adil, jujur dan berkala, dan dalam system itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hamper semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”. Dapat dilihat disini bahwa esensi demokrasi ditandai oleh adanya “kompetisi dan partisipasi dalam pemilu” (lih, Praksis, Edisi VIII/2007 hal 7). Menurut pandangan ini, pemilu merupakan arena yang mewadahi:
1. kompetisi (kontestasi) antar actor-aktor politik untuk meraih kekuasaan
2. partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan
3. liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara
Mochtar Pabottingi memasukkan poliarki ini dalam demokrasi “kubu prosedural”. Kubu yang lainnya, meskipun ada beberapa hal yang saling mencakup, adalah kubu demokrasi “essensial”. Ada yang menyebut poliarki ini sebagai demokrasi minimalis/demokrasi formal/demokrasi electoral.

Jika dilihat pelaksanaan demokrasi selama reformasi ini, maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang dilaksanakan adalah sebenarnya “poliarki”. Makna demokrasi perlahan dimaknai hanya sebatas pemilu saja (pemiluisme/electoralism).
Mencermati keluaran (output) dari pelaksanaan poliarki selama reformasi ini, maka dapat dilihat bahwa rakyat bukanlah penikmat utama yang merasakan buah pelaksanaan demokrasi. Ketika panggung teater pemilu selesai, maka selesailah pertunjukan demokrasi, dan rakyat diminta menunggu lima tahun untuk ikut dalam pertunjukan lagi. Selama lima tahun, setelah para elite terpilih oleh suara rakyat, gendang pertunjukan sudah tidak ditangan rakyat lagi, dan dapat dilihat, gendang pertunjukan diambil alih oleh apa yang bisa disebut sebagai big bussines. Modal-lah yang mengambil peran sebagai penabuh gendang bagi para elite terpilih untuk “njathil”. Bahkan sebenarnya, masih perlu dipertanyakan, apakah pernah rakyat memegang gendang? Sebelum pertunjukan pemilu-pun, kiranya gendang sudah ditangan para “big business” tersebut.

Jika dilihat sejarah “promosi poliarki” ini tidak bisa lepas dari pergeseran ekonomi politik yang terjadi pada awal tahun 1970-an, maka bisa disimpulkan bahwa model “poliarki” inilah yang dianggap kompetibel terhadap kepentingan – kepentingan ideologi pasar bebas, seperti yang diusung oleh kaum pendukung neoliberalisme, para korporasi besar/big bussines. Sejak kemunculan dan perkembangannya, korporasi selalu mempunyai kecenderungan akumulatif, terlebih ketika merger dan akuisisi mendapatkan dasar hukumnya. Kecenderungan ini akan lebih mudah bekerja sama dengan elite-elite politik yang terpilih melalui jalan poliarki. Ingat apa yang pernah dikatakan Milton Friedman, salah satu guru neoliberalisme:”profit-making is the essence of democracy”. (Le Monde Diplomatique, August, 2007).
Yang pelu dipikirkan secara mendalam adalah apakah proyek “promosi poliarki” ini kompetibel terhadap cita-cita bangsa? Apakah kompetibel terhadap nasib kaum marhaen? Secara terus-terus menerus kaum marhaen dihadapkan dengan para intelektual organic dari “kubu procedural” ini, yang dengan segala sumber dayanya terus mengembangkan teori atau alat-alat pengukur “konsolidasi demokrasi” yang ujung-ujungnya adalah menguatkan bahwa demokrasi seperti itulah (poliarki) yang benar.

“Demokrasi Esensial”
Hampir semua teori dari kubu ini merujuk kepada mahakarya Rawls, A Theory of Justice. Rawls menekankan bahwa teori keadilan yang diajukannya mengasumsikan sepenuhnya dalam “suatu masyarakat yang terkelola dengan baik” (“a well-ordered society”) yang dirumuskannya sebagai suatu masyarakat di mana tiap warga menerima dan mengetahui bahwa tiap warga lainnya juga menerima prinsip-prinsip keadilan yang sama, dan lembaga-lembaga dasar kemasyarakatan memenuhi dan diketahui memenuhi semua prinsip ini” (Mochtar Pabottingi, 2007).
Menanggapi perkembangan demokasi kubu procedural, Sartori mengatakan:”kesalahan paling elementer dan naif” dari kubu procedural adalah “mereduksi demokrasi dengan namanya”, sehingga mereka terjebak dalam apa yang disebut “ demokrasi etimologis”. Sistem demokrasi seharusnya dibangun lantaran dorongan hasrat-hasrat ideal. Bagaimana demokrasi dalam kenyataan tak bisa dipisahkan dari bagaimana demokrasi dalam keharusan. Demokrasi ada hanya sejauh ia diwujudkan oleh ideal-ideal dan nilai-nilainya. Dengan kata lain, begitu kita berbicara tentang demokrasi yang baik, mau tak mau kita terbawa kembali kepada posisi-posisi normative atau preskriptif yang semestinya. Ian Shapiro menegaskan bahwa demokrasi takkan bisa bertahan jika ia tak membangun kebiasaan interaksi demokratis di kalangan masyarakat luas atau tidak terus bekerja memperkecil ketidakadilan dalam lembaga-lembaga yang menentukan kehidupan sehari-hari. (Mochtar Pabottingi, 2007)
Salah satu varian dari demokrasi essensial ini adalah apa yang disebut sebagai demokrasi deliberatif (demokrasi telaah), yang menekankan kembali tradisi deliberasi – yang mengandung arti telaah, bincang, runding, kupas, musyawarah – yang memang sudah menjadi ciri demokrasi sejak awal. Menurut Etzoioni, gagasan demokrasi deliberatif berangkat dari pemikiran “kontrak sosial” Rousseauian, dengan sebuah keyakinan bahwa kebaikan bersama (common good) dapat dipastikan dan dipromosikan melalui proses demokratis. Yang paling mendasar adalah proses pelibatan public dalam membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Model ideal (dalam prakteknya) untuk demokrasi deliberatif adalah negara kota Athena atau rapat kota New England di AS. Beberapa perbedaan dengan demokrasi formal/procedural adalah:

Demokrasi Formal

Demokrasi Deliberatif
Hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural Berupaya memperkuat legitimasi demokrasi
Memperkuat “demokrasi representative” Respon atas kelemahan teori dan praktek demokrasi liberal – berupaya mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga
Percaya pada kompetisi melalui proses agregasi politik (misalnya pemilu) Lebih menekankan forum public sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama – memperluas ruang-ruang demokrasi

Apakah demokrasi deliberatif ini bisa menjadi “jalan demokratis” kaum marhaen? Beberapa kritik terhadap demokrasi essensial, antara lain adalah apakah jenis demokrasi ini dapat dilaksanakan dalam realitas? Sebetulnya dalam kehidupan sosial masyarakat, apa yang disebut sebagai “rembug desa” itu bisa juga dimaknai sebagai suatu bentuk demokrasi deliberatif. Jadi secara sosial budaya ada potensi untuk mengembangkannya di tingkat “grass root”.
Hanya masalahnya, apakah demokrasi deliberatif ini dapat dilaksanakan dalam level yang lebih luas? Perlu kiranya secara kritis dilihat masalah demokrasi deliberatif ini kemungkinan dikembangkan sebagai partner dari “promosi poliarki”, yaitu “promosi demokrasi deliberatif”, dimana konteks promosinya bukan dalam mengembangkan suatu demokrasi esensial, tetapi justru untuk memperkuat output dari “promosi poliarki”
Tesis Karl Polanyi mengenai “double movement”, dimana ketika pasar bebas menjadi dominant dalam setiap segi kehidupan masyarakat maka akan ada reaksi dari masyarakat untuk akan melindungi diri dalam rangka mempertahankan diri. Dan ketika pasar bebas merambah dengan sangat bebasnya – dengan prinsip free fight competition-nya – di Indonesia melalui panggung reformasi, pengalaman menunjukkan, jika reaksi dari aras bawah ini tidak dikendalikan maka dia akan menjadi penantang yang serius di kemudian hari. Maka ini perlu dikendalikan, dan demokrasi deliberatif yang disterilkan dari visi politik-lah (konteks negara) salah satu yang bisa menjadi instrumen. Demokrasi deliberatif yang dimandulkan visi politiknya pada akhirnya ini akan mengarah pada suatu yang bisa disebut sebagai “lokalisme”, suatu sikap yang memandang bahwa yang nyata adalah yang lokal. Di luar itu adalah “ngoyo woro”.
Lokalisme ini akan mengakibatkan disintegrasinya kesadaran terhadap kesadaran suatu “komunitas yang dibayangkan” seperti ketika proklamasi dideklarasikan. Di satu pihak, elite politik yang terpilih dari proses “demokrasi poliarki” telah dibajak oleh kepentingan korporasi besar (lihat penjelasan Noorena Heertz), dengan produk-produk hukum yang semakin memarginalkan peran negara demi kepentingan korporasi besar, di pihak lain kekuatan arus bawah dikotakkan dalam kesadaran lokalisme, di mana akses kepada negara sebagai pengejawantahan “komunitas terbayang” menjadi terbatas karena telah mengalami disintegrasi dalam kesadaran politisnya.
Jadi meskipun prinsip-prinsip “demokrasi deliberatif” dapat merupakan suatu yang mendasar dalam mengembangkan demokrasi yang essensial, tetapi hal itu juga dapat menjadi instrumen yang efektif sebagai partner dari “demokrasi poliarkis” ditangan para pendukung ideologi neoliberalisme. Sebuah pensil bagi seseorang bisa digunakan untuk menuliskan pikirannya di atas kertas, tetapi ditangan ahli kung fu pensil bisa menjadi senjata yang mematikan.
Yang selanjutnya adalah bagaimana demokrasi bisa menjadi jalan perjuangan bagi kaum marhaen dalam menegakkan atau meraih kepentingan dan cita-citanya?

Politik, Bukan Ekonomi
Akhir-akhir ini berkembang suatu wacana bahwa yang utama adalah masalah ekonomi. Masalah krisis atau masalah bagaimana keluar dari krisis, atau bagaimana masalah membangun negara bangsa, adalah bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ekonomi merupakan hal yang sangat penting terhadap kelangsungan dan berkembangnya suatu bangsa. Tetapi harus diingat bahwa, bukan dengan mengedepankan aspek ekonomi sebagai ujung tombak maka masalah bangsa akan mendapat solusinya, tetapi adalah politik.
Klaim pasar bebas, dimana negara dalam pasar bebas perannya akan semakin minimal, justru merupakan paradoks. Ideologi pasar bebas yang diusung oleh kaum neoliberalis justru dapat berkembang menjadi ideologi dominant setelah memperoleh kekuatan politik melalui naiknya Margaret Tatcher dan Ronald Reagen di puncak kekuasaan Inggris dan AS. Bagaimana negara dipaksa untuk menggelar karpet merah bagi masuknya pasar bebas dengan produk-produk hukumnya mengindikasikan bahwa sejauh negara dapat mendukungnya, maka peran negara adalah maksimal dalam pelaksanaan pasar bebas. Aspek negara sebenarnya memegang peran sentral bagi para pendukung neoliberalisme. Dan juga sebenarnya, peran negara bisa menjadi jembatan emas bagi kaum marhaen untuk memperjuangkan cita-citanya. Jadi, dalam aras nasional, harus dipandang bahwa masalah bagaimana peran negara harus dilaksanakan merupakan ajang pertempuran dari kepentingan – kepentingan kaum marhaen dan para oligarkis (juga para pemburu rente) yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan big bussiness. Dan itu adalah masalah politik.
Politik menurut Lasswell (1936) adalah merupakan “siapa yang mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Morgenthau (1960), politik sebagai “perjuangan untuk mendapat kekuasaan”. Schattschneider (1960) mengatakan politik sebagai “seni dan ilmu tentang pemerintahan”. “Politics is war without bloodshed while war is politics with bloodshed “ (Mao 1938) atau menurut Lenin (1920), “politics begin where the masses are, not where there are thousands, but where there are millions, that is where serious politics begin”.
Dalam perjalanan sejarahnya, pilihan kelompok-kelompok sosial yang ada pada struktur bawah dalam struktur sosial yang terbangun sejak jaman VOC, “dipaksa” untuk mengambil jalan politik. Jalan ekonomi, jelas secara nyata asimetri hubungan yang ada terlalu tidak seimbang. Ini bisa dilihat ketika Sarekat Dagang Islam akhirnya merubah diri menjadi Sarekat Islam (lihat Farchan Bulkin, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, 1984). Kesenjangan yang semakin melebar dalam kerangka pelaksanaan pasar bebas sudah banyak dibuktikan di berbagai negara. Asimetri dalam hal ekonomi yang semakin kuat ini harusnya semakin menyadarkan bagi kaum marhaen untuk menyadari bahwa membangun kekuatan politik untuk merebut sumber daya – sumber daya ekonomi adalah merupakan pilihan strategis utama. Dan kekuatan politik ini harus dibangun untuk mempunyai kekuatan dalam mengambil peran negara sehingga produk-produk hukumnya dapat berpihak bagi kepentingan kaum marhaen.

Partai
Jika demokrasi telah disepakati sebagai jalan untuk mencapai cita-cita, maka membangun partai sebagai instrumen artikulasi politik kaum marhaen haruslah menjadi strategi utama. Partai yang seperti apakah yang seharusnya dibangun sehingga mampu berperan sebagai instrumen kaum marhaen dalam perjuangannya?
Yang pertama-tama disadari adalah bahwa partai merupakan kumpulan manusia, bukan kumpulan atau gabungan dari kapital/modal. Karena merupakan kumpulan manusia maka tentunya partai selalu akan menjaga harkat dan martabat manusia. Dimensi manusia adalah dimensi sebagai individu dan sosial. Manusia ada karena bersama dengan manusia lain. Maka mekanisme partai yang dibangun haruslah tetap menghargai manusia sebagai individu tetapi sekaligus juga bagaimana dibangun mekanisme partai yang mampu mengembangkan kolektifitas anggotanya. Berkembang maraknya oligarki dalam tubuh partai sebetulnya merupakan pengingkaran kemanusiaan, baik secara individu maupun secara sosial. Berbicara mengenai organisasi (termasuk partai) adalah tidak bisa tidak harus berbicara mengenai oligarki. Maka jika partai gagal membuat mekanisme untuk menghapus atau mungkin yang paling realistis, mengendalikan oligarki, maka partai akan mudah untuk mengingkari bahwa partai adalah merupakan kumpulan manusia, dan yang terbukti dalam praktek kepartaian di beberapa partai, partai sudah merupakan kumpulan dari kapital.
Berbagai wacana mengenai “character national building” atau keprihatinan mengenai kehancuran karakter bangsa disebabkan karena selama Orde Baru berkuasa, pembangunan dititik beratkan pada ekonomi. Pembangunan manusia seakan dilupakan, sehingga sekarang kita dibuat “terkaget-kaget” ketika Malaysia, India melaju sebagai bangsa yang kuat.
Partai-partai yang ada melupakan fungsi partai dalam melakukan pendidikan politik bagi anggota khususnya dan rakyat pada umumnya. Ini bisa dilihat, bagaimana reaksi partai-partai ketika masalah calon independent digulirkan. Jika partai melakukan pendidikan politik bagi konstituennya secara berkesinambungan maka tentunya calon independent ada atau tidak bukan merupakan masalah besar. Pendidikan politik akan mengembangkan pengetahuan konstituen partai yang akan mendasari dukungan kepada partai. Dukungan kepada partai bukan karena uang (money politics), atau takut kepada satgas/laskar, tetapi karena pengetahuan yang dipunyainya, membuat keputusan yang rasional bahwa mendukung partai adalah keputusan politik yang tepat. Demikian juga visi, program partai akan lebih mudah diserap oleh konstituen, dan juga konstituen mampu mengontrol jalannya partai jika pengetahuan bersama meningkat karena pendidikan politik. Partai dalam hidup kesehariannya menjadi entitas yang tidak terasing dari konstiuennya.
Manusia sebagai pusat perubahan inipun mendapat tantangan yang cukup besar dengan berkembangnya media dalam membingkai aktifitas politik. Sebesar apapun media dalam memberikan kontribusinya kepada kesadaran politik masyarakat, tetap saja sifat kontribusinya ádalah tidak lebih sekedar informasi, bukan dialog yang memanusiakan. Melihat awal reformasi, dapat dilihat bahwa justru media, terutama televisi telah membajak berkembangnya kesadaran kritis massa. Munculnya selebriti-selebriti baru para komentator politik di layar kaca membuat politik menjadi seperti tontonan film yang dinikmati saat tayang, dan dilupakan setelah tayangan selesai. Partai-partai gagal melakukan pendidikan politik langsung dan berkelanjutan kepada anggota dan konstituennya, dan hasilnya adalah kekuatan lama Orde Baru-pun tanpa sungkan kembali tampil. Jika melihat yang terjadi di Venezuela, begitu Hugo Chavez memegang tampuk kekuasaan, pendidikan-lah salah satu program utama. Mestinya bukan hanya akademis yang dilaksanakan dalam program pendidikannya, tetapi juga pendidikan politik, yang ke depan jika rakyat semakin terdidik secara politik, pada akhirnya akan mendukung perubahan yang diprogramkan oleh Chavez.
Besarnya dana kampanye yang dialokasikan dalam media menunjukkan bahwa manusia bukan menjadi sumber daya politik utama partai. Dialog dalam arti pendidikan politik paling efektif seharusnya hanya bisa dilakukan melalui partai dan perangkatnya.
Partai yang dapat sebagai alat perjuangan kaum marhaen adalah partai yang dikelola dengan baik. Dikelola dengan baik dimaksudkan adalah dikembangkannya suatu mekanisme partai dimana berdasarkan asas kesetaraan, partai mampu dikontrol oleh anggota-anggotanya. Kontrol partai yang dilakukan oleh anggota yang terdidik secara politik dan ideologi akan memberikan dampak solidnya partai. Pembusukan partai dari internal partai sering terjadi karena kontrol partai oleh anggota partai tidak berjalan atau karena tidak terdidiknya anggota partai atau karena keduanya.
Dikelola dengan baik juga berarti bahwa partai mampu tetap relevan atau kompetibel terhadap berbagai situasi yang berkembang, baik situasi yang berkembang diakibatkan situasi obyektif berupa tuntutan-tuntutan dalam negeri maupun perubahan-perubahan geopolitik internasional serta perkembangan-perkembangan yang dipercepat oleh kemajuan-kemajuan tehnologi. Partai harus mampu dikelola secara dialektis dalam konteks ruang dan waktu yang secara dinamis terus berubah.
Pendidikan politik dalam partai haruslah dilihat sebagai strategi perjuangan, yang memakai terminologi Gramsci mungkin dekat dengan pengertian “perang posisi”. Prinsip-prinsip demokrasi deliberatif, yang menekankan telaah, musyawarah, kupas, bisa dikembangkan partai secara kritis pada level partai yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dialog yang terbuka, saling mengisi dan cerdas serta yang dibicarakan adalah mengenai apa yang sudah dan akan dikerjakan, juga tentang masalah-masalah actual dan potensial yang dihadapi rakyat, maka jika ini dilakukan secara terus menerus akan menjadi pendidikan politik yang luar biasa dan dapat sebagai media pengembangan ideologi partai. Pertarungan dan kemenangan partai akan merupakan pertarungan dan kemenangan ideologis. Sedang bagaimana partai dikelola dengan baik, adalah menyiapkan partai dalam strategi “perang gerakan” atau “perang maneuver”. Kedua hal tersebut, membangun kemampuan untuk masuk dalam “perang posisi” dan “perang gerakan” merupakan syarat utama dimana partai bisa menjadi alat bagi kaum marhaen dalam menapak jalan demokrasi, demi terwujudnya cita-cita.
Jalan demokratis bagi kaum marhaen adalah bagaimana berjuang melalui partai. Maka, jika sampai sekarang marjinalisasi kaum marhaen tetap saja berlangsung, pertama-tama yang harus dilihat adalah partainya. Sudah punyakah kaum marhaen partai yang mampu memperjuangkan dan mengawal cita-citanya? Jika kaum marhaen sudah mampu mengembangkan partai sesuai dengan bagaimana partai harus dikembangkan dalam mewujudkan cita-citanya –seperti yang telah diuraikan di atas -, maka pilihan berjuang lewat jalur politik adalah merupakan keputusan yang tepat dan strategis, bahkan jika dihadapkan pada “demokrasi poliarkis” sekalipun.
Romantika, dinamika dan dialektika ber-partai adalah jalan demokratis massa marhaen.***

Tidak ada komentar:

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Arwan Sabditama

Kirim Komentarnya ya!!