Rabu, Januari 21, 2009

Pemimpin tanpa Moralitas

Pemimpin tanpa Moralitas
Oleh NGAINUN NAIM
GERAKAN moral yang dicanangkan beberapa tokoh untuk tidak memilih politisi tercela memiliki makna yang cukup penting. Gerakan tersebut menjadi salah satu wahana untuk membangun kehidupan kebangsaan ke depan yang lebih menjanjikan. Politisi tercela, siapa pun dia, merupakan biang kebobrokan bangsa hingga hari ini. Merekalah yang memiliki andil besar "penggerogotan" bangsa dari dalam.
Bisa dibayangkan bagaimana arah perjalanan bangsa ini selanjutnya jika kepemimpinan jatuh ke tangan politisi yang tidak bermoral. Yang pasti, kondisinya akan semakin carut-marut. Agenda mewujudkan good governance akan berhenti di tataran slogan. Demokrasi pun hanya akan dijadikan wahana berlindung di balik agenda kepentingan individu ataupun kelompoknya.
Dalam perspektif kehidupan kebangsaan, kepemimpinan tidak hanya mengacu kepada aspek yuridis-formal, tetapi juga dimensi religiusitas dan moralitas. Religiusitas terkait dengan penghayatan dan implementasi nilai agama dalam kerangka sosial. Seseorang dikatakan menghayati agama manakala tidak hanya taat menjalankan agama dalam aspek ritual semata, tetapi juga bagaimana ajaran agama memengaruhi dimensi kehidupan yang lebih luas.
Sementara itu, sisi moralitas adalah bagaimana seorang pemimpin juga mempertimbangkan dimensi nilai yang berlaku. Politisi ataupun pemimpin yang secara moral "cacat", sebenarnya tidak layak untuk memimpin. Jika ada argumentasi bahwa moralitas tidak jelas ukurannya, sebenarnya argumentasi tersebut layak digugat. Moralitas terkait dengan batas-batas kepantasan dan rasa malu. Jika memang sudah keluar dari koridor moralitas, berarti tidak lagi memiliki kepantasan dan tidak memiliki rasa malu.
Jika mau mengedepankan kejujuran nurani, rasanya tidak sedikit di antara para pemimpin kita yang jauh dari nilai-nilai religiusitas dan moralitas. Mungkin secara formal kehidupan mereka terlihat religius-moralis. Tetapi, sebenarnya hanyalah bungkus. Perilaku mereka yang sebenarnya justru kontradiktif dengan nilai-nilai religiusitas dan moralitas.
Pada dimensi ini, ada cukup banyak pemimpin di Indonesia yang tidak lagi mempertimbangkan dimensi religiusitas dan moralitas. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar jika sampai hari ini kita kesulitan untuk keluar dari jerat krisis. Karena mereka yang duduk sebagai pemimpin di berbagai lini ternyata juga banyak yang mengidap "krisis" moralitas.
Jika kita mengharapkan bangsa Indonesia dapat keluar dari belitan krisis, salah satu alternatifnya adalah menampilkan sosok pemimpin yang secara moralitas dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting karena membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa mempertimbangkan dimensi ini hanya akan mengantarkan negara ke arah kehancuran.
Moralitas yang lahir sebagai manifestasi perilaku hidup muncul dari sisi terdalam eksistensi manusia. Dalam kerangka ini, moralitas belum tentu lahir dari sosok yang dibesarkan dari tradisi agama yang kuat sebab moralitas terkait dengan kesadaran dan kemauan seseorang untuk menyandarkan hidupnya atas nilai yang diyakini.
Teladan nabi
Dalam konteks kepemimpinan, merupakan hal yang menarik untuk belajar dari sejarah kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw. Spirit kepemimpinan yang dikembangkannya dapat menjadi rujukan penting bagi para pemimpin yang hanya berorientasi kekuasaan.
Jika merujuk pada akar sejarah, proses awal perjalanan sejarah Nabi Muhammad memang belum menunjukkan suatu kekuatan politik yang diperhitungkan. Akan tetapi, dalam perkembangannya, terutama pascahijrah ke Madinah, aspek politik Nabi dapat dilihat secara jelas. Namun, muatan politik Nabi sangat kental dengan nuansa keagamaan yang khas. Hampir semua pemerhati sejarah Islam sepakat bahwa risalah yang dibawa Nabi bukan semata-mata sebagai risalah yang bernuansa keagamaan dalam pengertian yang bersifat ritual, tetapi juga mengandung muatan kehidupan yang berwawasan menyeluruh.
Latar belakang sejarah Islam ketika memasuki awal perkembangannya, hadir dalam masyarakat yang hidup dengan kekangan budaya Jahiliah, terbiasa hidup dalam nuansa feodalistik dan diskriminatif. Corak masyarakat yang demikian mendatangkan akibat buruk dalam bentuk terjadinya manipulasi ekonomi, politik, dan intelektual. Untuk melanggengkan kekuasaan, cara-cara kotor pun dilakukan, seperti dengan menindas masyarakat yang memang tidak memiliki kemampuan untuk melawan.
Berkaitan dengan kondisi demikian, ajaran Islam yang pertama adalah aspek tauhid. Tauhid tidak hanya berdimensi vertikal, tetapi juga memiliki implikasi historis-sosiologis berupa terjadinya pembangunan kembali secara radikal terhadap struktur social politik masyarakat Arab. Islam mengajarkan persamaan di antara sesama manusia. Persamaan pada dasarnya merupakan gagasan universal dalam kerangka kesatuan ketuhanan.
Dalam konteks kepemimpinan, Nabi mengembangkan kepemimpinan moral dalam kehidupan politiknya. Ini merupakan respons yang sangat tepat dalam menghadapi struktur masyarakat pra-Islam yang feodalistik dan represif, karena yang ditekankan adalah aspek moralitas (akhlaq al-karimah). Oleh karena itu, politik pada zaman Nabi berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif.
Nabi Muhammad dengan spirit religiusitas dan moralitasnya berhasil membangun sebuah komunitas yang beradab di Madinah. Bersama semua unsur penduduk Madinah, Nabi meletakkan dasar-dasar peradaban (madaniyyah) dengan membuat sebuah perjanjian (Piagam Madinah) yang mengatur mengenai kehidupan beragama, ekonomi, sosial, dan politik. Dalam hal ini, ikatan keadaban (bond of civility) ditegakkan oleh semangat universal ketuhanan untuk menegakkan sistem hukum yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Moralitas menjadi kunci penting dalam kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi. Berdasarkan bukti-bukti historis, moralitas menjadi titik poros bagi pengembangan kehidupan bersama yang mampu menciptakan kesejahteraan. Oleh karena itu, jika mengharapkan bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis menuju ke arah kehidupan yang menyejahterakan, kepemimpinan yang berlandaskan kepada moralitas merupakan sebuah kebutuhan mutlak. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mempertimbangkan moralitas hanyalah akan mengantarkan negara ke arah kehancuran.***
Penulis pemerhati sosial keagamaan, tinggal di Tulungagung Jatim

1 komentar:

toko-lomba mengatakan...

thanks all lot, dear. it help me done my paper
i'm ECH.nice to meet u

click it, LIKE it, share it please^^thank you
http://toko-lomba.blogspot.com/2012/10/Sehat-Alami-Produk-Indonesia.html

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Arwan Sabditama

Kirim Komentarnya ya!!