Rabu, Februari 25, 2009

Membangun Partai Masa Depan

Membangun Partai Masa Depan
Kondisi umum partai-partai politik dewasa ini sangat memprihatinkan: memperjuangkan kepentingannya sendiri, mengidap penyakit oligarkhis(i) yang acute, dan kader-kadernya banyak terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Mereka mengalami krisis identitas dan ideologi. Kepercayaan rakyat kepada partai politik makin lama makin tipis. Rakyat tidak lagi melihat partai politik sebagai alat perjuangan, melainkan hanya sebagai alat berebut kekuasaan bagi para pemimpinnya

(2) Tetapi demokrasi tetap membutuhkan partai politik. Tidak mungkin ada demokrasi tanpa partai politik. Memburuknya citra partai politik akan membuat rakyat ragu-ragu terhadap gagasan demokratisasi maupun cita-cita reformasi, yang sebelumnya diyakini sebagai solusi terhadap tirani Orde Baru. Akan sangat berbahaya apabila kondisi ini dipergunakan untuk menggerakkan arus balik demokratisasi. Arus balik itu bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi, mengingat reformasi diakhiri tanpa kemenangan ideologis dan ideological apparatus Orde Baru tidak mengalami kerusakan yang berarti. Bahkan Partai Golkar, sebagai salah satu ideological apparatus Orde Baru, telah berhasil memenangkan pemilihan umum legislative dan menemukan axis mundinya kembali dengan terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum. Kedua hal ini akan menjadi titik tolak bagi Partai Golkar untuk mengembangkan sayapnya di kemudian hari dan menciptakan stabilitas yang diperlukan untuk menjalankan kembali ideologi pembangunanisme(ii) melalui pintu demokrasi


(3) Perlu dibangun partai politik berbasis ke bangsaan yang dari awal dirancang untuk mengintegrasikan cita-cita kerakyatan dan prinsip-prinsip demokrasi ke dalam perilaku partai. Partai yang dibangun itu haruslah merupakan partai ideologi(iii), dan dengan sadar menghindari terbangunnya partai lindungan (patronage party). Partai yang dibangun haruslah merupakan partai kader(iv), yang pimpinan dan anggotanya sanggup bekerja dengan disiplin yang tinggi di atas garis massa. Partai yg dibangun harus pula merupakan partai yang demokratis dlm mengatur kehidupan rumah tangganya. Pimpinan partai dipilih secara demokratis dan berada di bawah kontrol massa anggota nya. Partai harus menyediakan mekanisme yang memungkinkan pimpinan partai diberhentikan sebelum waktunya oleh anggota. Partai yang dibangun juga harus menghindari jebakan partai model Leninis yg menerapkan demokrasi sentralisme, seolah-oleh demokrasi tapi sebenarnya bukan demokrasi: para pemimpin dipilih secara demokratis, tetapi setelah terpilih boleh memecat anggotanya yang dianggap tidak loyal. Pengorganisasian partai harus dengan jelas menunjukkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dijalankan sepenuhnya dalam kehidupan internal partai. Gambar partai seperti ini adalah partai yang dicita-citakan, yang dapat mendongkrak kembali citra partai politik di mata rakyat. Partai seperti itu diperlukan untuk mencegah arus balik demokratisasi dan menghindari kembalinya ideologi Orde Baru.

(4) Partai yang dicita-citakan hanya dapat dibangun di atas alas kekuatan social baru, yaitu lapisan dalam masyarakat yang sadar akan hakekat perjuangan politiknya dan memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Tidak mungkin kita membangun partai ideologi & partai kader yang sekaligus juga menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan rumah tangga partai, kalau tidak didukung lapisan masyarakat yang sadar akan hakekat perjuangan politiknya. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus menunggu lahirnya kekuatan social baru lebih dahulu, baru membangun partai. Partai yang dicita-citakan dapat mulai dibangun bersama-sama dengan upaya untuk membangun kekuatan social baru, karena baik partai yang dicita-citakan maupun kekuatan social baru dibangun di atas sumber daya politik yang sama, yaitu the power of knowledge(v). Kita memilih pengetahuan sebagai basis sumber daya politik, karena pengetahuan dalam era globalisasi sekarang adalah amunisi yang tidak pernah ada habisnya (berbeda dengan kekerasan atau kekayaan) dan sekaligus juga merupakan sumber kekuasaan yang paling demokratis (dapat dimiliki oleh orang yang lemah maupun miskin)

(5) Partai yang dicita-citakan hanya dapat dibangun apabila kita mampu membangkitkan kembali kembali rasa percaya diri sendiri yang besar. Bangsa Indonesia saat ini sedang mengidap penyakit inferior complex yang berat. Masyarakat kita juga sedang dikepung oleh perasaan tidak berdaya. Masyarakat politik kita pun ikut-ikutan tidak berdaya kalau tidak digerojog dengan rupiah. Imajinasi yang melambung dalam dunia politik bukan lagi imajinasi ideologi, melainkan imajinasi uang, Kita disuruh percaya pada tahyul yang menyerebak pada zaman reformasi : kalau tidak punya uang, jangan berpolitik. Kita harus berani memerangi tahyul ini, membebaskan rakyat dari cengkeraman orang-orang kaya yang mau menambah kekayaannya melalui lapangan politik. Asas self help (vi) yang pernah digunakan sebagai asas oleh pergerakan kemerdekaan kita dulu perlu dihidupkan kembali. Dengan kekuatan pengetahuan, asas self help akan mendorong kita untuk selalu dapat keluar dari jalan buntu.

(6) Untuk membangun partai yang dicita-citakan dapat dimulai dari tingkat distrik (setara daerah tingkat II dalam administrasi pemerintahan). Pada tingkat distrik inilah dengan tidak terlalu sulit dapat ditemukan komunitas politik dan sumber daya untuk menggerakkan aktivitas minimal partai. Pada tingkat distrik ini pula premise membangun partai bersama-sama dengan membangun kekuatan social baru dapat dilaksanakan. Partai dibangun dengan memperhatikan sumber daya politik yang tersedia; dan kekuatan social baru dibangun melalui pendidikan politik. Adalah tugas partai distrik untuk memulai mendidik massa melalui berbagai peristiwa politik (local, regional, maupun nasional) dengan memperhatikan sumber daya politik yang dimiliki dan dapat dimiliki. Pada stadium terakhir, partai-partai distrik akan diintegrasikan menjadi partai yang dicita-citakan pada tingkat nasional(vii)

(7) Partai distrik yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh tenaga kader sebagai perekat ; sedangkan kader yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh wawasan ideologis yang terus menerus dimajukan sehingga tidak kehilangan watak progresifnya. Dalam membangun partai yang dicita-citakan ini, sedapat mungkin dihindari formalitas yang tidak perlu. Untuk menjaga dijalankannya demokrasi yang otentik dalam proses pembentukan partai, prosedur atau tata cara dalam pengorganisasiannya disederhanakan dan didasarkan pada saling pengertian.

(8) Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia), Bung Karno bertanya kepada peserta sidang, kita ini mau merdeka sekarang atau tidak. Kemerdekaan itu, kata Bung Karno, dpt diibaratkan seperti perkawinan. Ada pemuda yang berani kawin kalau sudah mempunyai rumah gedung, permadani, listrik, dan tempat tidur yang mentul-mentul. Ada juga pemuda yang berani kawin dengan berbekal gubug dan sehelai tikar. Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Bung Karno, kita mau merdeka sekarang, sekarang, sekarang ! ( Soedaryanto )

Catatan :

(I) Hampir semua partai politik di Indonesia sekarang ini mengidap penyakit oligarkhis : para pemimpin yang dipilih secara demokratis secara diam-diam membangun komplotan dalam tubuh partai dan/atau bersekutu dengan kelompok-kelompok kepentingan lainnya untuk memper juangkan tujuan-tujuannya sendiri yang menyimpang dari tujuan partai dan bukan pula tujuan yang dijanjikan kepada para pendukungnya pa da massa pemilihan. Menurut Robert Michels dalam bukunya Partai Politik yang diterbitkan pertama kali tahun 1911, besarnya harapan massa kepada para pemimpin dan berbagai keunggulan yang dimiliki elite partai secara bersama-sama dapat mebangun situasi bagi tumbuhnya pola perilaku oligarkhis. Kecenderungan suatu partai akan mengarah pada demo krasi atau oligarkhis tergantung pada dua factor, yaitu factor pemimpin dan factor pengorgani sasian. Faktor pemimpin meliputi orientasi ideologi, pelayanan kepentingan, posisinya dalam perubahan. Apabila pemimpin bertumpu pada watak progresif dari ideologi, maka partai akan menjadi demokratis ; tetapi apabila pemimpin menikmati watak konservatifnya ideologi, maka partai cenderung oligarkhis. Apabila pemimpin mengikatkan diri pada pelayanan kepentingan keseluruhan anggota nya, maka demokrasi demokrasi di dalam partai akan terpelihara; sebaliknya apabila pemimpin hanya mengutamakan kelompok kecil mereka sendiri, maka partai akan menjadi oligarkhis. Apabila pemimpin mempunyai tujuan untuk melakukan pe rubahan dan pembaharuan, maka demokrasi akan hidup dalam partai ; tetapi apabila pemimpin cenderung untuk memelihatra stabilitas, maka partai akan cenderung pula bersifat oligarkhis. Sementara itu factor organisasi memiliki dua aspekl, yaitu masalah prosedur organisasi dan perhatian organisasi. Apabila prosedur atau tata cara dalam pengorganisasian disederhanakan dan didasarkan pada saling pengertian, maka partai akan lebih mendekati demokrasi ; tetapi apabila hubungan dalam organisasi sudah dikendalikan oleh suatu system birokrasi, maka partai akan berwajah ologarkhis. Apabila perhatian organisasi ditujukan pada keseluruhan anggota, maka sifat demokratis partai akan terbina ; tetapi apabila perhatian organisasi hanya ditujukan pada sekelompok kecil anggotanya, maka partai akan cenderung menjadi oligarkhis.

(II) Pembangunanisme adalah pembangunan yang dijalankan demi pem bangunan itu sendiri, yang dilepaskan dari cita-cita konstitusi yang me -ngamanatkan agar pembangunan diarahkan untuk terwujudnya keadilan social

(III) Ditinjau menurut sifat dan orientasi partai politik, dapat dibedakan adanya dua jenis partai, yaitu partai lindungan dan partai ideologi. Partai lindungan adalah partai yang tujuan utamanya adalah memenangkan pemilihan umum untuk tokoh-tokoh dan kader-kader yang dicalonkan ; dan oleh karenanya hanya giat menjelang masa-masa pemilihan. Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat dapat diambil sebagai contoh partai politik semacam ini. Perkembangan partai-partai politik pasca reformasi di Indonesia lebih mengarah kepada ke model partai lindungan, tetapi partai lindungan yang masih mengurus kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan konstituen. Partai ideologi adalah partai yang mempunyai visi penataan kehidupan social dan politik yang komprehensif berdasarkan pandangan hidup tertentu, yang kemudian dirumuskan ke dalam kebijakan dan platform partai. Partai ideologi menuntut adanya loyalitas dan keterlibatan ang -gota dan kader-kadernya dalam melaksanakan platform tersebut, serta berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Untuk memperkuat ikatan keanggotaan dan kemurnian ideologi, partai biasanya memiliki organ-organ untuk melakukan penerangan dan memberi penjelasan tentang ajaran-ajaran ideologis dan keputusan-keputusan penting yang diambil oleh partai. Partai-partai di Eropa Kontinental pada umumnya dapat ditunjuk sebagai contoh partai ideologi. Dalam kasus Indonesia pasca Reforma si, PKS merupakan satu-satunya partai politik yang dapat disebut sebagai partai ideologi.

(IV) Ditinjau dari segi komposisi dan fungsi keanggotannya, secara umum partai politik dapat dibagi dalam dua jenis partai, yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuatan partai pada besarnya jumlah anggota. Anggota yang masuk diterima tanpa syarat : dan oleh karenanya juga memiliki hubungan dengan partai yang longgar. Di dalam partai masa masing-masing aliran atau kelompok kepentingan cenderung untuk memaksakan kepentingannya masing-masing, terutama pada saat pemilihan, sehingga persatuan di dalam partai menjadi lemah dan tidak jarang diakhiri dengan membentuk kelompok tandingan atau mendirikan partai baru. Partai kader mengutamakan kekuatan partai pada keketatan organisasi dan disiplin kerja anggota-anggotanya. Partai biasanya menjaga kemurnian ideologi dan doktrin yg menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Rapat anggota menjadi agenda penting dalam kegiatan partai kader.

(V) Menurut Alvin Toffler di dalam bukunya Power Shift : Knowledge, Wealth, and Violence of the 21st Century menjelaskan bahwa umat manusia sejak awal peradabannya mengenal adanya tiga sumber kekuasaan, yaitu kekerasan, kekayaan, dan pengetahuan, tetapi dengan komposisi yang berlainan. Kekerasan atau ancaman kekerasan menghasilkan kualitas kekuasan yang rendah, karena hanya didasarkan pada kemampuannya untuk memberi hukuman. Kekayaan dapat menjadi alat kekuasaan yang lebih baik, karena disamping dapat dipergunakan untuk menghukum, kekayaan dapat dipergunakan untuk memberi hadiah. Sumber kekuasaan yang paling berkualitas berasal dari penggunaan pengetahuan : menciptakan efisiensi, melakukan kalkulasi, mebujuk, mengubah lawan menjadi sekutu. Tentu saja kekuasaan maksimum akan tercapai melalui penggunaan ketiga sumber kekuasaan di atas dengan menggabungkan ancaman kekerasan, kemampuan untuk memberikan hadiah, dan kalkulasi atas situasi yang dihadapi serta persuasi. Dalam kasus Indonesia, Orde baru dapat dipandang sebagai kekuasaan yang menggunakan kekuasaan fisik (dwifungsi ABRI) untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya yang ada. Sementara itu, orde reformasi

(VI) Sementara itu, orde reformasi menggunakan kekayaan untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya politik yang sedang mengalami pergeseran. Itulah sebabnya, meskipun rakyat sedang dalam cengkeraman kemiskinan, panggung politik mencitrakan berhamburan dengan uang. Tanpa pencitraan seperti itu, panggung yang digelar akan menjadi sepi.

(VII) Asas self help sudah dijalankan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda & kemudian dicantumkan sebagai asas partai oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) ketika didirikan pada tahun 1927. Jadi ketika didirikan PNI belum berasaskan Marhaenisme. Marhaenisme untuk pertama kali tercantum sebagai asas partai baru pada tahun 1933 oleh Partai Indonesia (Partindo)

(VIII) Dengan metoda ini kita menerapkan prinsip membangun struktur yang terdukung. Prinsip ini harus tetap kita terapkan apabila nanti partai yang dicita-citakan sudah terbentuk. Prinsip ini menyatakan bahwa struktur yang kita bangun adalah struktur yang dari segala aspek (ekonomis, politis, keamanan, dan sebagainya) dapat kita dukung. Kita jangan membangun struktur yang di luar kemampuan kita untuk menanggung implikasinya. Melalui prinsip membangun struktur yang terdukung ini, kita dapat menciptakan pengorganisasian partai yang sehat.

Tentang P4

Apa yang sebenarnya terjadi mengenai P4 selama Orde Baru ?
Penataran P4 selama Orde Baru menekankan penafsiran Pancasila sebagai ajaran tentang “keutamaan individu”. Pandangan ini harus ditolak, dimana dinyatakan bahwa seolah-olah masyarakat Pancasila baru bisa diwujudkan kalau setiap hidung warga Negara sudah mengerti Pancasila dan mengamalkannya sebagai preskripsi moral individu. Kita pernah keliru melihat seolah-olah Pancasila sudah sangat kuat dengan makin banyaknya warga Negara yang mengikuti Penataran P4 dan semua organisasi social politik sudah memasang Pancasila sebagai satu-satunya asas.



Bagaimana seharusnya ?

Yang benar adalah : masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma dasar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan Negara memang benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.



Jadi, siapa yang terutama dan pertama-tama melaksanakan Pancasila ?

Penyelenggara Negara, karena Pancasila adalah dasar Negara (“philosofische grondslag”, “Staatsfundamentalnorm”, “Pokok Kaidah Fundamentil Negara”), dan sebagai dasar Negara, Pancasila mengatur perilaku Negara, yang terwujud dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam system norma hukum, kita mengenal adanya hokum tertulis dan hokum tidak tertulis. Di Negara Republik Indonesia, hukum tertulis dari hari ke hari terus mendesak peranan hukum tidak tertulis. Dengan makin besarnya hokum tertulis telah menyebabkan peranan penyelenggara kekuasaan Negara dalam pembentukan hokum menjadi sangat penting. Karena itu pemahaman dan penghayatan penyelenggara kekuasaan Negara terhadap dasar Negara Pancasila juga sangat penting, karena mereka itulah yang menentukan pembentukan hokum tertulis.



Bagaimana posisi rakyat terhadap Pancasila ?

Kontrol social terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan Negara harus dipertajam, dengan ‘melawan’ monopoli para politisi, pejabat Negara, dan birokrat untuk menentukan begitu saja apa yang baik bagi masyarakat. Dengan pemahaman rakyat yang baik atas Pancasila dan kedudukanya sebagai dasar Negara, akan menjadikan Pancasila sebagai ideology kritis di tangannya. Atau dengan kata lain, pemahaman yang baik atas Pancasila akan memungkinkan rakyat menggunaka Pancasila sebagai ideology kritis untuk memeriksa apakah prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan Negara sudah sesuai dengannya.



Bagaimana Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa ?

Staatsfundamentalorm mempunyai akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa, dasar yang membentuk Negara tersebut, sebagai consensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri Negara. Mengapa founding fathers Negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai consensus dasar berdirinya Negara ? Kalau kita ikuti “suasana kebatinan” yang terungkap dalam siding-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar Negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar Negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar Negara karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa.



Apa perbedaan dan bagaimana hubungan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai Cita-cita Moral Bangsa ?

Pancasila sebagai dasar Negara (Staatsfundamentalnorm), yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan norma tertinggi dalam hirarki system norma hokum Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm) yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam system norma hokum. Sebagai dasar Negara, Pancasila seharusnya juga menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma itu. Sedangkan sebagai cita-cita moral bangsa, Pancasila berada di luar system norma hokum, yang berfungsi konstitutif dan regulative terhadap norma-norma yang ada dalam system norma hokum. [Posisi Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa ini dapat kita temukan dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu mewujudkan (merupakan perwujudan dari) Rechtsidee (cita-cita hokum) yang menguasai hokum dasar Negara, baik hokum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis]



Apa yang dimaksud dengan fungsi konstitutif dan regulative Pancasila ?

Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa memiliki fungsi konstitutif yang menentukan dasar dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan; dan memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah peraturan perundang-undangan yang dibentuk itu merupakan peraturan yang adil atau tidak adil. Terhadap tata hukum yang berlaku dapat ditanyakan apakah preskripsi moral yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hokum Indonesia merupakan tata hokum yang benar; dan disamping itu juga memiliki fungsi regulative yang menentukan apakah hokum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hokum yang adil.



Apa itu “Cita-cita moral bangsa” ?

“Cita-cita moral bangsa” adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi moral bagi bangsa tersebut untuk tercapainya cita-cita yang diinginkan bersama. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi sebagai “bintang penuntun” (Leitsteren) untuk tercapainya cita-cita masyarakat. Meskipun Leitstern itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin dicapai, tetapi Leitstern itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji dan melakukan control atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menjadi pedoman dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atas problematic yang dihadapi, termasuk juga di sini ketika Indonesia dihadapkan pada problematika globalisasi, misalnya.



*) Bahan wawancara, Soedarjanto, Makalah “Membasiskan Pancasila”, Maret 2007

Civic Education

Civic Education

A. Beberapa Istilah dan Definisi Civic Education

Henry Randall Waite dalam penerbitan majalah The Citizen dan Civics, pada tahun 1886, merumuskan pengertian Civics dengan The sciens of citizenship, the relation of man, the individual, to man in organized collections, the individual in his relation to the state. Dari definisi tersebut, Civics dirumuskan dengan Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan (a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik); (b) individu-individu dengan negara. (Sumantri, 2001: 281).

Edmonson (1958) merumuskan arti Civics ini dengan Civics is usually defined as the study of government and of citizenship, that is, of the duties, right and priviliges of citizens. Batasan ini menunjukkan bahwa Civics merupakan cabang dari ilmui politik.

Hampir semua definisi mengenai Civics pada intinya menyebut government, hak dan kewajiban sebagai warga negara dari sebuah negara.

Secara istilah Civics Education oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewargaan diwakili oleh Azyumardi Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai Pengembang Civics Education di Perguruan Tinggi yang pertama. Sedangkan istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili oleh Zemroni, Muhammad Numan Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civics Education), Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainnya.

Pendidikan Kewargaan semakin menemukan momentumnya pada dekade 1990-an dengan pemahaman yang berbeda-beda. Bagi sebagian ahli, Pendidikan Kewargaan diidentikkan dengan Pendidikan Demokrasi (democracy Education), Pendidikan HAM (human rights education) dan Pendidikan Kewargaan (citizenship education). Menurut Azra, Pendidikan Demokrasi (democracy Education) secara subtantif menyangkut sosialisai, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan.

Masih menurut Azra, Pendidikan Kewargaan adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM. Karena, Pendidikan Kewargaan mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerjasama, keadilan sosial, pengertian antarbudaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat.

Mahoney, sebagaimana dikutip oleh Numan Soemantri, merumuskan pengertian Civic Education sebagai berikut: “Civic Education includes and involves those teaching; that type of teaching method; rhose student activities; those administrative and supervisory procedures which the school may utility purposively to make for better living together in the democratic way or (synonymously) to develop to better civics behaviors.”

Menurut Muhammad Numan Soemantri, ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut (a) Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan prilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokrasi; (c) dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara.

Rumusan lain, seperti yang dikemukakan oleh Civitas Internasional, bahwa Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, hak asasi manusia, penguatan keterampilan partisifatif yang demokrasi, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian.

Menurut Merphin Panjaitan, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokrasi dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial. Sementara Soedijarto mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.

Dari definisi tersebut, semakin mempertegas pengertian Civic Education karena bahannya meliputi pengaruh positif dari pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar sekolah. Jadi, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan tentang masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan demokrasi dan humanis.

B. Kompetensi Dasar dan Tujuan Civic Education

Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis, yaitu pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan kewargaan (Civic Knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) antara lain demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society); kedua, kecakapan dan kemampuan sikap kewargaan (Civic Dispositions) antara lain pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman, kepekaan terhadap masalah warga negara antara lain masalah demokrasi dan hak asasi manusia; dan ketiga, kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewargaan (Civil Skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintah.

Tujuan Perkuliahan Pendidikan Kewargaan (Civic Education)

1. Membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab.

2. Menjadikan warga yang baik dan demokratis.

3. Menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analisis dan kritis.

4. Mengembangkan kultur demokrasi.

5. Membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen.

C. Ruang Lingkup Civic Education

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) memiliki atas tiga materi pokok (core materials) yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society). Ketiga materi inti tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa materi yang menjadikan bahan kajian dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education), yaitu (1) Pendahuluan; (2) Identitas nasional; (3) Negara; (4) Kewarganegaraan; (5) Konstitusi; (6) Demokrasi; (7) Otonomi Daerah; (8) Good Governance; (9) Hak Asasi Manusia; (10) Masyarakat Madani. Dengan demikian isi pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education) diarahkan untuk national and character building bangsa Indonesia yang relevan dalam memasuki era demokratisasi.

D. Orientasi Civic Education

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan menunjukkan bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praktis), paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistik sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut sebagai global classroom. Untuk itu kelas pembelajaran Pendidikan Kewargaan, dalam istilah Udin S. Winataputra, diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.

Dalam lingkup Asia-Pasifik yang ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-politik, agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada keindahan dari keragaman kultural ini. Pembelajaran Pendidikan Kewargaan baik sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan situasi pembelajaran yang interaktif, empiris, kontekstual, kasuistis, demokratis dan humanis.

E. Urgensi Civic Education dalam Pembangunan Demokrasi Peradaban

Keruntuhan rezim Orde Baru pada pertengahan tahun 1998 merupakan babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia yaitu berakhirnya era otoriter dan lahirnya era demokratisasi. Transisi tata pemerintahan dan kenegaraan menuju era demokratisasi ditandai paling tidak oleh beberapa hal, yaitu (a) lahirnya kepemimpinan politik nasional yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yaitu proses pemilu yang dalam sejarah Indonesia dipandang sangat bebas, jujur dan adil serta demokratis; (b) proses pemilihan kepemimpinan politik nasional dalam sidang umum MPR tahun 1999 yang juga berlangsung sangat demokratis; (c) terjadinya peralihan kekuasaan politik dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati dalam forum Sidang Istimewa MPR tahun 2001 juga berlangsung damai.

Demokrasi menurut Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif bukan sebuah wacana, pola pikir atau prilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi, bukan pula “barang instan”. Demokrasi menurutnya adalah proses yang masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Proses demokrasi yang baru “seumur hidup” dialami bangsa Indonesia dalam era transisi ini berada dalam situasi carut marut, karena sebagian komponen bangsa masih menunjukkan dan mempertontonkan prilaku anarkis, akrobat politik yang tidak berkeadaban dan prilaku destruktif lainnya baik oleh kalangan elit politik dan pemerintahan maupun oleh massa.

Keberhasilan transisi Indonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan otentik merupakan suatu proses yang komplek dan panjang. Sebagai proses yang komlek dan panjang transisi Indonesia menuju demokrasi keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra, mencakup tiga agenda besar yang berjalan secara stimultan dan sinergis. Pertama, reformasi konstitusional; kedua, reformasi kelembagaan (institutional reforms) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan lembaga kenegaraan, seperti MPR, DPR, MA, DPA dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis melalui pendidikan. Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan Kewargaan (Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan Kewargaan) bisa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi tegaknya demokrasi berkeadaban.

Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan demikian harus mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu instrumen pendidikan politik yang mampu melakukan empowerment bagi masyarakat, terutama masyarakat kampus melalui berbagai program pembelajaran yang mencerminkan adanya rekonstruksi sosial (social reconstruction). Dengan cara demikian, berbagai patologi sosial (penyakit masyarakat) dapat dianalisis untuk kemudian dicarikan solusinya atau terapinya. Selain itu, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) harus dapat pula dijadikan sebagai wahana dan instumen untuk melakukan social engineering dalam rangka membangun social capital yang efektif bagi tumbuhnya kultur demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta tumbuhnya masyarakat madani (civil society).

Jalan Demokratis Massa Marhaen

Ketika reformasi naik panggung politik Indonesia, maka salah satu sajian utama pertunjukannya adalah: demokrasi. Apakah gerak teaterikal demokrasi tersebut, selama hampir sepuluh tahun ini telah memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945? Apakah pergeseran dari Orde Baru ke “Orde Reformasi” juga memberikan harapan pada kemungkinan adanya pergeseran struktur sosial rakyat Indonesia, sehingga ketimpangan structural yang ada sejak jaman VOC ini menjadi lebih berkeadilan? Jeffrey Winters telah mengingatkan, bahwa keruntuhan suatu rejim adalah tidak sama dengan keruntuhan oligarkinya. Kasus BLBI, yang menghangat pada tahun-tahun awal reformasi, dan kemudian pelan-pelan menghilang, serta akhir-akhir ini sempat menghangat lagi telah mengindikasikan hal tersebut. Tidak sedikit pula para oligarkh-oligarkh Orde Baru masih malang melintang, bahkan seakan tidak tersentuh.

Bukan Demokrasi, tetapi Poliarki: “Demokrasi Prosedural”
Pada tahun 1979, aparat pemerintah Amerika Serikat bersama dengan para akademisi, kelompok-kelompok perdagangan, pimpinan-pimpinan bisnis dan politisi – politisi yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat membentuk American Political Foundation (APF). Tahun 1981, APF merekomendasikan supaya “Amerika Serikat mempromosikan demokrasi ke luar”. Rekomendasi tersebut diterima oleh pemerintah AS sebagai “Proyek Demokrasi”. Pada tahun 1983, dibentuklah National Endowment for Democracy (NED). Selanjutnya, dalam kebijakan luar negeri, “promosi demokrasi” ini telah menjadi strategi utama Amerika Serikat. Negara-negara seperti, Nikaragua, Philipina, Chile, Panama dan juga Indonesia, satu per satu diterjang oleh “Proyek Demokrasi” ini. Strategi “promosi demokrasi” ini pun tidak lepas dari pergeseran ekonomi politik yang berkembang, yang nyata telah terjadi pergeseran sejak awal tahun 1970-an. Pergeseran tersebut adalah mulai berkembangnya ideologi neoliberalisme, dan memuncak dengan naiknya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri di Inggris dan Ronald Reagen sebagai presiden Amerika Serikat. (William I. Robinson, 1992)
Jika demokrasi yang diusung reformasi adalah merupakan “promosi demokrasi” yang merupakan bagian dari “Proyek Demokrasi” Amerika Serikat, apakah itu berarti demokrasi serta-merta harus ditolak? Ada atau tidak adanya intervensi dari kepentingan asing dalam mengembangkan demokrasi, sebenarnya kita sebagai bangsa telah sepakat bahwa demokrasi adalah jalan yang terbaik, atau mungkin bisa dikatakan sebagai jalan yang lebih sedikit kelemahannya dibandingkan system yang lain. Dan konstitusi mendukung pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengenai “promosi demokrasi” yang disponsori oleh Amerika Serikat, harus dimaknai bahwa yang sebenarnya bukanlah demokrasi yang dipromosikan, tetapi “poliarki”.
Poliarki –pemerintahan para elite dalam negara-nasion- sebagai suatu konsep dikembangkan oleh Robert Dahl. Latar belakang dari konsep ini adalah ketidak setujuan Robert Dahl bahwa rakyat betul-betul bisa memerintah, karena pada kenyataannya yang memerintah adalah hanya segelintir orang saja atau kaum elite. Menurut Dahl, poliarkhi merupakan sebuah tatanan politik yang menghadirkan 7 institusi:
1. Pemilihan pejabat. Kontrol terhadap keputusan-keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional adalah tetap pada pemilihan para pejabat.
2. Pemilihan yang Bebas dan Fair. Pemilihan pejabat yang sering dipilih dan pemilihan yang dilakukan secara fair dengan paksaan termasuk tidak biasa.
3. Hak pilih inklusif. Secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk memberikan suara dalam pemilihan pejabat
4. Hak ikut pemilihan pejabat. Secara praktik semua orang dewasa memiliki hak untuk mengikuti pemilihan pejabat.
5. Kebebasan ekspresi. Warga Negara memiliki hak untuk mengekspresikan diri mereka tanpa bahaya hukuman yang keras mengenai persoalan-persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk hak untuk mengkritik para pejabat pemerintah, rejim, tatanan sosio ekonomi, dan ideologi yang berjalan
6. Informasi alternative. Warga Negara memiliki hak untuk mencari sumber-sumber informasi alternative. Di samping itu, sumber-sumber informasi alternative yang ada dilindungi oleh hokum.
7. Otonomi berorganisasi. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk hak-hak yang telah disebut di atas, warga juga memiliki hak untuk membentuk asosiasi atau organisasi independent, termasuk partai-partai politik independent dan kelompok-kelompok kepentingan
Dalam perkembangan selanjutnya definisi-definisi poliarki yang menekankan pluralisme politik dan pemilihan multipartai telah memberikan pengaruh yang besar pada definisi standard ilmu politik tentang demokrasi.
Konsep poliarki ini juga tidak bisa lepas dari tradisi demokrasi a la Joseph Schumpeter. Menurutnya, sebuah negara dikategorisasikan “…sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih melalui jalur pemilihan umumyang adil, jujur dan berkala, dan dalam system itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hamper semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”. Dapat dilihat disini bahwa esensi demokrasi ditandai oleh adanya “kompetisi dan partisipasi dalam pemilu” (lih, Praksis, Edisi VIII/2007 hal 7). Menurut pandangan ini, pemilu merupakan arena yang mewadahi:
1. kompetisi (kontestasi) antar actor-aktor politik untuk meraih kekuasaan
2. partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan
3. liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara
Mochtar Pabottingi memasukkan poliarki ini dalam demokrasi “kubu prosedural”. Kubu yang lainnya, meskipun ada beberapa hal yang saling mencakup, adalah kubu demokrasi “essensial”. Ada yang menyebut poliarki ini sebagai demokrasi minimalis/demokrasi formal/demokrasi electoral.

Jika dilihat pelaksanaan demokrasi selama reformasi ini, maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang dilaksanakan adalah sebenarnya “poliarki”. Makna demokrasi perlahan dimaknai hanya sebatas pemilu saja (pemiluisme/electoralism).
Mencermati keluaran (output) dari pelaksanaan poliarki selama reformasi ini, maka dapat dilihat bahwa rakyat bukanlah penikmat utama yang merasakan buah pelaksanaan demokrasi. Ketika panggung teater pemilu selesai, maka selesailah pertunjukan demokrasi, dan rakyat diminta menunggu lima tahun untuk ikut dalam pertunjukan lagi. Selama lima tahun, setelah para elite terpilih oleh suara rakyat, gendang pertunjukan sudah tidak ditangan rakyat lagi, dan dapat dilihat, gendang pertunjukan diambil alih oleh apa yang bisa disebut sebagai big bussines. Modal-lah yang mengambil peran sebagai penabuh gendang bagi para elite terpilih untuk “njathil”. Bahkan sebenarnya, masih perlu dipertanyakan, apakah pernah rakyat memegang gendang? Sebelum pertunjukan pemilu-pun, kiranya gendang sudah ditangan para “big business” tersebut.

Jika dilihat sejarah “promosi poliarki” ini tidak bisa lepas dari pergeseran ekonomi politik yang terjadi pada awal tahun 1970-an, maka bisa disimpulkan bahwa model “poliarki” inilah yang dianggap kompetibel terhadap kepentingan – kepentingan ideologi pasar bebas, seperti yang diusung oleh kaum pendukung neoliberalisme, para korporasi besar/big bussines. Sejak kemunculan dan perkembangannya, korporasi selalu mempunyai kecenderungan akumulatif, terlebih ketika merger dan akuisisi mendapatkan dasar hukumnya. Kecenderungan ini akan lebih mudah bekerja sama dengan elite-elite politik yang terpilih melalui jalan poliarki. Ingat apa yang pernah dikatakan Milton Friedman, salah satu guru neoliberalisme:”profit-making is the essence of democracy”. (Le Monde Diplomatique, August, 2007).
Yang pelu dipikirkan secara mendalam adalah apakah proyek “promosi poliarki” ini kompetibel terhadap cita-cita bangsa? Apakah kompetibel terhadap nasib kaum marhaen? Secara terus-terus menerus kaum marhaen dihadapkan dengan para intelektual organic dari “kubu procedural” ini, yang dengan segala sumber dayanya terus mengembangkan teori atau alat-alat pengukur “konsolidasi demokrasi” yang ujung-ujungnya adalah menguatkan bahwa demokrasi seperti itulah (poliarki) yang benar.

“Demokrasi Esensial”
Hampir semua teori dari kubu ini merujuk kepada mahakarya Rawls, A Theory of Justice. Rawls menekankan bahwa teori keadilan yang diajukannya mengasumsikan sepenuhnya dalam “suatu masyarakat yang terkelola dengan baik” (“a well-ordered society”) yang dirumuskannya sebagai suatu masyarakat di mana tiap warga menerima dan mengetahui bahwa tiap warga lainnya juga menerima prinsip-prinsip keadilan yang sama, dan lembaga-lembaga dasar kemasyarakatan memenuhi dan diketahui memenuhi semua prinsip ini” (Mochtar Pabottingi, 2007).
Menanggapi perkembangan demokasi kubu procedural, Sartori mengatakan:”kesalahan paling elementer dan naif” dari kubu procedural adalah “mereduksi demokrasi dengan namanya”, sehingga mereka terjebak dalam apa yang disebut “ demokrasi etimologis”. Sistem demokrasi seharusnya dibangun lantaran dorongan hasrat-hasrat ideal. Bagaimana demokrasi dalam kenyataan tak bisa dipisahkan dari bagaimana demokrasi dalam keharusan. Demokrasi ada hanya sejauh ia diwujudkan oleh ideal-ideal dan nilai-nilainya. Dengan kata lain, begitu kita berbicara tentang demokrasi yang baik, mau tak mau kita terbawa kembali kepada posisi-posisi normative atau preskriptif yang semestinya. Ian Shapiro menegaskan bahwa demokrasi takkan bisa bertahan jika ia tak membangun kebiasaan interaksi demokratis di kalangan masyarakat luas atau tidak terus bekerja memperkecil ketidakadilan dalam lembaga-lembaga yang menentukan kehidupan sehari-hari. (Mochtar Pabottingi, 2007)
Salah satu varian dari demokrasi essensial ini adalah apa yang disebut sebagai demokrasi deliberatif (demokrasi telaah), yang menekankan kembali tradisi deliberasi – yang mengandung arti telaah, bincang, runding, kupas, musyawarah – yang memang sudah menjadi ciri demokrasi sejak awal. Menurut Etzoioni, gagasan demokrasi deliberatif berangkat dari pemikiran “kontrak sosial” Rousseauian, dengan sebuah keyakinan bahwa kebaikan bersama (common good) dapat dipastikan dan dipromosikan melalui proses demokratis. Yang paling mendasar adalah proses pelibatan public dalam membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Model ideal (dalam prakteknya) untuk demokrasi deliberatif adalah negara kota Athena atau rapat kota New England di AS. Beberapa perbedaan dengan demokrasi formal/procedural adalah:

Demokrasi Formal

Demokrasi Deliberatif
Hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural Berupaya memperkuat legitimasi demokrasi
Memperkuat “demokrasi representative” Respon atas kelemahan teori dan praktek demokrasi liberal – berupaya mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga
Percaya pada kompetisi melalui proses agregasi politik (misalnya pemilu) Lebih menekankan forum public sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama – memperluas ruang-ruang demokrasi

Apakah demokrasi deliberatif ini bisa menjadi “jalan demokratis” kaum marhaen? Beberapa kritik terhadap demokrasi essensial, antara lain adalah apakah jenis demokrasi ini dapat dilaksanakan dalam realitas? Sebetulnya dalam kehidupan sosial masyarakat, apa yang disebut sebagai “rembug desa” itu bisa juga dimaknai sebagai suatu bentuk demokrasi deliberatif. Jadi secara sosial budaya ada potensi untuk mengembangkannya di tingkat “grass root”.
Hanya masalahnya, apakah demokrasi deliberatif ini dapat dilaksanakan dalam level yang lebih luas? Perlu kiranya secara kritis dilihat masalah demokrasi deliberatif ini kemungkinan dikembangkan sebagai partner dari “promosi poliarki”, yaitu “promosi demokrasi deliberatif”, dimana konteks promosinya bukan dalam mengembangkan suatu demokrasi esensial, tetapi justru untuk memperkuat output dari “promosi poliarki”
Tesis Karl Polanyi mengenai “double movement”, dimana ketika pasar bebas menjadi dominant dalam setiap segi kehidupan masyarakat maka akan ada reaksi dari masyarakat untuk akan melindungi diri dalam rangka mempertahankan diri. Dan ketika pasar bebas merambah dengan sangat bebasnya – dengan prinsip free fight competition-nya – di Indonesia melalui panggung reformasi, pengalaman menunjukkan, jika reaksi dari aras bawah ini tidak dikendalikan maka dia akan menjadi penantang yang serius di kemudian hari. Maka ini perlu dikendalikan, dan demokrasi deliberatif yang disterilkan dari visi politik-lah (konteks negara) salah satu yang bisa menjadi instrumen. Demokrasi deliberatif yang dimandulkan visi politiknya pada akhirnya ini akan mengarah pada suatu yang bisa disebut sebagai “lokalisme”, suatu sikap yang memandang bahwa yang nyata adalah yang lokal. Di luar itu adalah “ngoyo woro”.
Lokalisme ini akan mengakibatkan disintegrasinya kesadaran terhadap kesadaran suatu “komunitas yang dibayangkan” seperti ketika proklamasi dideklarasikan. Di satu pihak, elite politik yang terpilih dari proses “demokrasi poliarki” telah dibajak oleh kepentingan korporasi besar (lihat penjelasan Noorena Heertz), dengan produk-produk hukum yang semakin memarginalkan peran negara demi kepentingan korporasi besar, di pihak lain kekuatan arus bawah dikotakkan dalam kesadaran lokalisme, di mana akses kepada negara sebagai pengejawantahan “komunitas terbayang” menjadi terbatas karena telah mengalami disintegrasi dalam kesadaran politisnya.
Jadi meskipun prinsip-prinsip “demokrasi deliberatif” dapat merupakan suatu yang mendasar dalam mengembangkan demokrasi yang essensial, tetapi hal itu juga dapat menjadi instrumen yang efektif sebagai partner dari “demokrasi poliarkis” ditangan para pendukung ideologi neoliberalisme. Sebuah pensil bagi seseorang bisa digunakan untuk menuliskan pikirannya di atas kertas, tetapi ditangan ahli kung fu pensil bisa menjadi senjata yang mematikan.
Yang selanjutnya adalah bagaimana demokrasi bisa menjadi jalan perjuangan bagi kaum marhaen dalam menegakkan atau meraih kepentingan dan cita-citanya?

Politik, Bukan Ekonomi
Akhir-akhir ini berkembang suatu wacana bahwa yang utama adalah masalah ekonomi. Masalah krisis atau masalah bagaimana keluar dari krisis, atau bagaimana masalah membangun negara bangsa, adalah bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ekonomi merupakan hal yang sangat penting terhadap kelangsungan dan berkembangnya suatu bangsa. Tetapi harus diingat bahwa, bukan dengan mengedepankan aspek ekonomi sebagai ujung tombak maka masalah bangsa akan mendapat solusinya, tetapi adalah politik.
Klaim pasar bebas, dimana negara dalam pasar bebas perannya akan semakin minimal, justru merupakan paradoks. Ideologi pasar bebas yang diusung oleh kaum neoliberalis justru dapat berkembang menjadi ideologi dominant setelah memperoleh kekuatan politik melalui naiknya Margaret Tatcher dan Ronald Reagen di puncak kekuasaan Inggris dan AS. Bagaimana negara dipaksa untuk menggelar karpet merah bagi masuknya pasar bebas dengan produk-produk hukumnya mengindikasikan bahwa sejauh negara dapat mendukungnya, maka peran negara adalah maksimal dalam pelaksanaan pasar bebas. Aspek negara sebenarnya memegang peran sentral bagi para pendukung neoliberalisme. Dan juga sebenarnya, peran negara bisa menjadi jembatan emas bagi kaum marhaen untuk memperjuangkan cita-citanya. Jadi, dalam aras nasional, harus dipandang bahwa masalah bagaimana peran negara harus dilaksanakan merupakan ajang pertempuran dari kepentingan – kepentingan kaum marhaen dan para oligarkis (juga para pemburu rente) yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan big bussiness. Dan itu adalah masalah politik.
Politik menurut Lasswell (1936) adalah merupakan “siapa yang mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Morgenthau (1960), politik sebagai “perjuangan untuk mendapat kekuasaan”. Schattschneider (1960) mengatakan politik sebagai “seni dan ilmu tentang pemerintahan”. “Politics is war without bloodshed while war is politics with bloodshed “ (Mao 1938) atau menurut Lenin (1920), “politics begin where the masses are, not where there are thousands, but where there are millions, that is where serious politics begin”.
Dalam perjalanan sejarahnya, pilihan kelompok-kelompok sosial yang ada pada struktur bawah dalam struktur sosial yang terbangun sejak jaman VOC, “dipaksa” untuk mengambil jalan politik. Jalan ekonomi, jelas secara nyata asimetri hubungan yang ada terlalu tidak seimbang. Ini bisa dilihat ketika Sarekat Dagang Islam akhirnya merubah diri menjadi Sarekat Islam (lihat Farchan Bulkin, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, 1984). Kesenjangan yang semakin melebar dalam kerangka pelaksanaan pasar bebas sudah banyak dibuktikan di berbagai negara. Asimetri dalam hal ekonomi yang semakin kuat ini harusnya semakin menyadarkan bagi kaum marhaen untuk menyadari bahwa membangun kekuatan politik untuk merebut sumber daya – sumber daya ekonomi adalah merupakan pilihan strategis utama. Dan kekuatan politik ini harus dibangun untuk mempunyai kekuatan dalam mengambil peran negara sehingga produk-produk hukumnya dapat berpihak bagi kepentingan kaum marhaen.

Partai
Jika demokrasi telah disepakati sebagai jalan untuk mencapai cita-cita, maka membangun partai sebagai instrumen artikulasi politik kaum marhaen haruslah menjadi strategi utama. Partai yang seperti apakah yang seharusnya dibangun sehingga mampu berperan sebagai instrumen kaum marhaen dalam perjuangannya?
Yang pertama-tama disadari adalah bahwa partai merupakan kumpulan manusia, bukan kumpulan atau gabungan dari kapital/modal. Karena merupakan kumpulan manusia maka tentunya partai selalu akan menjaga harkat dan martabat manusia. Dimensi manusia adalah dimensi sebagai individu dan sosial. Manusia ada karena bersama dengan manusia lain. Maka mekanisme partai yang dibangun haruslah tetap menghargai manusia sebagai individu tetapi sekaligus juga bagaimana dibangun mekanisme partai yang mampu mengembangkan kolektifitas anggotanya. Berkembang maraknya oligarki dalam tubuh partai sebetulnya merupakan pengingkaran kemanusiaan, baik secara individu maupun secara sosial. Berbicara mengenai organisasi (termasuk partai) adalah tidak bisa tidak harus berbicara mengenai oligarki. Maka jika partai gagal membuat mekanisme untuk menghapus atau mungkin yang paling realistis, mengendalikan oligarki, maka partai akan mudah untuk mengingkari bahwa partai adalah merupakan kumpulan manusia, dan yang terbukti dalam praktek kepartaian di beberapa partai, partai sudah merupakan kumpulan dari kapital.
Berbagai wacana mengenai “character national building” atau keprihatinan mengenai kehancuran karakter bangsa disebabkan karena selama Orde Baru berkuasa, pembangunan dititik beratkan pada ekonomi. Pembangunan manusia seakan dilupakan, sehingga sekarang kita dibuat “terkaget-kaget” ketika Malaysia, India melaju sebagai bangsa yang kuat.
Partai-partai yang ada melupakan fungsi partai dalam melakukan pendidikan politik bagi anggota khususnya dan rakyat pada umumnya. Ini bisa dilihat, bagaimana reaksi partai-partai ketika masalah calon independent digulirkan. Jika partai melakukan pendidikan politik bagi konstituennya secara berkesinambungan maka tentunya calon independent ada atau tidak bukan merupakan masalah besar. Pendidikan politik akan mengembangkan pengetahuan konstituen partai yang akan mendasari dukungan kepada partai. Dukungan kepada partai bukan karena uang (money politics), atau takut kepada satgas/laskar, tetapi karena pengetahuan yang dipunyainya, membuat keputusan yang rasional bahwa mendukung partai adalah keputusan politik yang tepat. Demikian juga visi, program partai akan lebih mudah diserap oleh konstituen, dan juga konstituen mampu mengontrol jalannya partai jika pengetahuan bersama meningkat karena pendidikan politik. Partai dalam hidup kesehariannya menjadi entitas yang tidak terasing dari konstiuennya.
Manusia sebagai pusat perubahan inipun mendapat tantangan yang cukup besar dengan berkembangnya media dalam membingkai aktifitas politik. Sebesar apapun media dalam memberikan kontribusinya kepada kesadaran politik masyarakat, tetap saja sifat kontribusinya ádalah tidak lebih sekedar informasi, bukan dialog yang memanusiakan. Melihat awal reformasi, dapat dilihat bahwa justru media, terutama televisi telah membajak berkembangnya kesadaran kritis massa. Munculnya selebriti-selebriti baru para komentator politik di layar kaca membuat politik menjadi seperti tontonan film yang dinikmati saat tayang, dan dilupakan setelah tayangan selesai. Partai-partai gagal melakukan pendidikan politik langsung dan berkelanjutan kepada anggota dan konstituennya, dan hasilnya adalah kekuatan lama Orde Baru-pun tanpa sungkan kembali tampil. Jika melihat yang terjadi di Venezuela, begitu Hugo Chavez memegang tampuk kekuasaan, pendidikan-lah salah satu program utama. Mestinya bukan hanya akademis yang dilaksanakan dalam program pendidikannya, tetapi juga pendidikan politik, yang ke depan jika rakyat semakin terdidik secara politik, pada akhirnya akan mendukung perubahan yang diprogramkan oleh Chavez.
Besarnya dana kampanye yang dialokasikan dalam media menunjukkan bahwa manusia bukan menjadi sumber daya politik utama partai. Dialog dalam arti pendidikan politik paling efektif seharusnya hanya bisa dilakukan melalui partai dan perangkatnya.
Partai yang dapat sebagai alat perjuangan kaum marhaen adalah partai yang dikelola dengan baik. Dikelola dengan baik dimaksudkan adalah dikembangkannya suatu mekanisme partai dimana berdasarkan asas kesetaraan, partai mampu dikontrol oleh anggota-anggotanya. Kontrol partai yang dilakukan oleh anggota yang terdidik secara politik dan ideologi akan memberikan dampak solidnya partai. Pembusukan partai dari internal partai sering terjadi karena kontrol partai oleh anggota partai tidak berjalan atau karena tidak terdidiknya anggota partai atau karena keduanya.
Dikelola dengan baik juga berarti bahwa partai mampu tetap relevan atau kompetibel terhadap berbagai situasi yang berkembang, baik situasi yang berkembang diakibatkan situasi obyektif berupa tuntutan-tuntutan dalam negeri maupun perubahan-perubahan geopolitik internasional serta perkembangan-perkembangan yang dipercepat oleh kemajuan-kemajuan tehnologi. Partai harus mampu dikelola secara dialektis dalam konteks ruang dan waktu yang secara dinamis terus berubah.
Pendidikan politik dalam partai haruslah dilihat sebagai strategi perjuangan, yang memakai terminologi Gramsci mungkin dekat dengan pengertian “perang posisi”. Prinsip-prinsip demokrasi deliberatif, yang menekankan telaah, musyawarah, kupas, bisa dikembangkan partai secara kritis pada level partai yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dialog yang terbuka, saling mengisi dan cerdas serta yang dibicarakan adalah mengenai apa yang sudah dan akan dikerjakan, juga tentang masalah-masalah actual dan potensial yang dihadapi rakyat, maka jika ini dilakukan secara terus menerus akan menjadi pendidikan politik yang luar biasa dan dapat sebagai media pengembangan ideologi partai. Pertarungan dan kemenangan partai akan merupakan pertarungan dan kemenangan ideologis. Sedang bagaimana partai dikelola dengan baik, adalah menyiapkan partai dalam strategi “perang gerakan” atau “perang maneuver”. Kedua hal tersebut, membangun kemampuan untuk masuk dalam “perang posisi” dan “perang gerakan” merupakan syarat utama dimana partai bisa menjadi alat bagi kaum marhaen dalam menapak jalan demokrasi, demi terwujudnya cita-cita.
Jalan demokratis bagi kaum marhaen adalah bagaimana berjuang melalui partai. Maka, jika sampai sekarang marjinalisasi kaum marhaen tetap saja berlangsung, pertama-tama yang harus dilihat adalah partainya. Sudah punyakah kaum marhaen partai yang mampu memperjuangkan dan mengawal cita-citanya? Jika kaum marhaen sudah mampu mengembangkan partai sesuai dengan bagaimana partai harus dikembangkan dalam mewujudkan cita-citanya –seperti yang telah diuraikan di atas -, maka pilihan berjuang lewat jalur politik adalah merupakan keputusan yang tepat dan strategis, bahkan jika dihadapkan pada “demokrasi poliarkis” sekalipun.
Romantika, dinamika dan dialektika ber-partai adalah jalan demokratis massa marhaen.***

Aliran Rekonstruksionisme

Aliran Rekonstruksionisme

A. Pendahuluan
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya mem­bina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.


B. Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg

C. Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

D. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali sunyi dan substansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.

E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Rekonstruksionisme


1. Pandangan secara Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menam pakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.

2. Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan man usia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) ten tang pengertian "nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke­mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pad a prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran un sur keindahan universal yang abadi, maha indah dan Tuhan.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.

3. Pandangan Epistemologis
Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.

Pancasila - Demokrasi

Pancasila - Demokrasi

BAB I
PENDAHULUAN

“Demokrasi“ saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi perbincangan berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan elit politik , birkrat pemerintahan, tokoh masyarakat, cendekiawan, mahasiswa dan kaum professional lainnya. Pada berbagai kesempatan mulai dari obrolan warung sampai dalam forum ilmiah seperti seminar, lokakarya, symposium, diskusi publik dan sebagainya. Wacana tentang demokrasi sering dikaitkan dengan berbagai persoalan, sehingga tema pembicaraan antara lain “ islam dan demokrasi “, politik dan demokrasi “, “ ekonomi dan demokrasi “, pendidikan dan demokrasi “, hukum dan demokrasi “ dan tema lainnya. Karena itu demokrasi menjadi alternatif system nilai dalam berbagai lapangan kehidupan manusia baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai dasar dalam bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.[1] Seperti dikatakan oleh Ryaas Rasyid bahwa pemerintahan demokratis adalah pemerintahan dimana kewenangan dan kekuasaan dibangun berdasarkan kesepakatan dari rakyat, adanya pemisahan kekuasaan ( Separation Of Power ), Supermasi Hukum ( Law Supremacy ), kesederajatan ( equality ), dan kebebasan ( liberty ).[2]

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKEKAT DEMOKRASI.

Menurut Moh. Mahfud MD[3] system negara demokrasi mengandung pengertian 3 hal penting yaitu :

1. Pemerintahan dari rakyat ( Government Of The People ).

2. Pemerintahan oleh rakyat ( Government By The People ).

3. Pemerintahan untuk rakyat ( Government For People ).

Pemerintahan dari rakyat ( Government Of The People ) berhubungan erat dengan legitimasi pemerintahan ( Legitimate Government ) dan tidak legitimasi pemerintahan ( Unligitimate Government ) di mata rakyat. Pemerintahan legitimasi berarti suatu pemerintahan yang berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan rakyat. Sebaliknya pemerintahan tidak legitimasi berarti suatu pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat dukungan dan pengakuan dari rakyat. Legitimasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintah dapat menjalankan roda dan program pemerintahan seperti pembangunan dan pelayanan sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa pemerintah yang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa kekuasaan pemerintah diperoleh melalui hasil pemilihan dari rakyat bukan pemberian dari wangsit atau dari kekuasaan supra natural.[4]

Pemerintahan oleh rakyat ( Government By The People ) berarti pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan pengawasannya dijalankan oleh rakyat atau lembaga kekuasaan yang ditunjuk pemerintah.[5]

Pemerintahan untuk rakyat ( Government For People ) adalah suatu pemerintahan yang mendapat mandat kekuasaan yang diberikan oleh rakyat digunakan untuk kesejahteraan mereka.[6]

Selanjutnya dalam pandangan Frans Magnis Suseno negara disebut demokratis bila terdapat 5 gugus pada negara tersebut yaitu : negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan hak – hak dasar rakyat.[7]

B. KOMPONEN PENEGAK DEMOKRASI.

Tegaknya demokrasi sangat terkait dengan tegaknya komponen atau unsur dalam demokrasi itu sendiri. Komponen – komponen itu antara lain : negara hukum, masyarakat madani, partai politik, dan pers yang bebas dan bertanggung jawab.

1. Negara Hukum ( Rechtsstaat dan The Rule Of Law ).

Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta penjaminan hak asasi manusia.

Konsep rechtsstaat mempunyai ciri – ciri :

a. Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan HAM.

b. Adanya perlindungan terhadap HAM.

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan.

d. Adanya peradilan administrasi.

Sedangkan The Rule Of Law dicirikan oleh :

a. Adanya supremasi aturan – aturan hukum.

b. Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum.

c. Adanya jaminan perlindungan HAM.[8]

2. Masyarakat Madani ( Civil Society ).

Masyarakat madani dengan cirinya sebagai masyarakat terbuka, masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter merupakan bagian yang integral dalam menegakkan demokrasi. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan consensus. Tatanan nilai – nilai demokrasi tersebut ada di dalam masyarakat madani.[9]

3. Partai Politik.

Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku – pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda – beda. [10]

Partai politik mempunyai arti penting dalam menciptakan dan menegakkan demokrasi dalam kehidupan bernegara, karena mempunyai beberapa fungsi antara lain :

a. Sebagai sarana komunikasi politik.

b. Sebagai sarana sosialisasi politik.

c. Sebagai saran rekrutmen politik.

d. Sebagai sarana pengatur politik.

Keempat fungsi partai politik di atas merupakan perwujudan dari nilai – nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi. Seperti pada pemilu tahun 1997 terdapat 3 partai politik, pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik, dan pada pemilu sekarang yaitu tahun 2004 terdapat 24 partai politik yang mempunyai visi dan misi masing – masing, dan kesemuanya itu merupakan wadah bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya untuk mewujudkan suatu negara yang demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Herbert McCosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences: “ Partisipasi politik adalah kegiatan – kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dari proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum “.[11]

4. Pers Yang Bebas dan Bertanggung Jawab.

Pers merupakan pilar ke-4 dalam mewujudkan demokrasi pada suatu negara setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebagai institusi penegak demokrasi, pers mempunyai peran yang sangat strategis yaitu sebagai penyedia informasi bagi masyarakat yang berkaitan dengan berbagai persoalan baik dalam kaitan dengan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan maupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat. Konsep keempat bagi lembaga pers tak berarti lembaga itu harus beroposisi terhadap pemerintah atau melawan pemerintah. Namun kurang lebih sama dengan peran yang dilakukan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[12]

C. PENTINGNYA DEMOKRASI DALAM SUATU PEMERINTAHAN.

Prinsip utama negara hukum ialah adanya asas legilitas, peradilan yang bebas, dan perlindungan terhadap HAM. Demokrasi sebagai suatu ide tentang pemerintahan yang ideal tidak akan terwujud dalam realitas. Rakyatpun tidak mungkin dapat memerintah dirinya sendiri. Karena itu, berbagai bentuk kelembagaan negara diwujudkan dalam struktur negara modern, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang tegas agar ditaati. UUD 1945 telah memenuhi keperluan itu. Memang ketentuan-ketentuannya bersifat singkat. Implementasinya memerlukan “ semangat “ para penyelenggara negara yang juga demokratis dan taat kepada hukum.[13]

Seperti apa yang telah kita ketahui bahwa demokrasi adalah suatu bentuk atau sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari pengertian itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwasanya demokrasi itu sangat diperlukan untuk mencapai suatu sistem pemerintahan yang baik, karena itu demokrasi dapat dijadikan sebagai pandangan hidup.

Menurut Nurchalis Madjid, demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Karena itu demokrasi harus diupayakan. Demokrasi dalam kerangka di atas berarti sebuah proses melaksanakan nilai – nilai civility ( keadaban )dalam bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi adalah menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai – nilai demokrasi.[14]

Pentingnya demokrasi dalam kehidupan bernegara sebagai pandangan hidup mempunyai norma – norma yang sangat penting yaitu :

1. Pentingnya kesadaran akan pluralisme.

Ini tidak hanya sekedar pengakuan ( pasif ) akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Lebih dari itu, kesadaran akan kemejemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seseorang akan dapat menyesuaikan dirinya pada cara hidup demokratis jika ia mampu mendisiplinkan dirinya ke arah jenis persatuan dan kesatuan yang diperoleh melalui penggunaan prilaku kreatif dan dinamik serta memahami segi – segi positif kemajemukan masyarakat.[15]

2. Musyawarah.

Internalisasi dan musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “ kalah suara “. Semangat mysyawarah menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya “ partial finctioning of ideals “, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan dan pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya.

3. Pertimbangan moral.

Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan.

4. Pemufakatan Yang Jujur dan Sehat.

Suasana masyarakat yang demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat guna mencapai pemufakatan yang jujur dan sehat.

5. Pemenuhan segi – segi ekonomi.

6. Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai I’tikad baik masing – masing.

7. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Pada hakekatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

2. Komponen penegak demokrasi dalam suatu pemerintahan itu adalah : Negara Hukum, Masyarakat Madani, Partai Politik serta Pers Yang Bebas dan Bertanggung Jawab.

3. Pentingnya demokratisasi dalam suatu pemerintahan karena pada hakekatnya demokrasi adalah implementasi dari kehendak rakyat yang mempunyai nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pandangan hidup yang mempunyai norma-norma, yaitu :

a. Pentingnya kesadaran akan pluralisme.

b. Musyawarah.

c. Pertimbangan moral.

d. Pemufakatan yang jujur dan sehat.

e. Pemenuhan segi-segi ekonomi.

f. Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai I’tikad baik masing-masing.

g. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Mahfudz Moh. MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gema Media, 1999

Rasyid, M. Ryaas, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta, Yayasan Wantapone, 1997.

Ubaidillah, A ( et al ), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press, 2000.

Suseno, Frans Magnis, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Neumann, Sigmund, “ Modern Political Parties “, Comparative Politics, A Reader, London, The Free Press of Glencoe, 1963.

McCosky, Herbert, “ Political Participation “, International Encyclopedia of The Social Sciences, Edisi ke-2, New York, The Macmillan Company and The Free Press, 1972. XII.

Muis, Abdul, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik, Jakarta, Kompas, 2000.

Azra, Azyumardi, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Tim ICCE UIN Jakarta, 2000
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Dan Sistem Kepartaian,

[1] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar – Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gema Media, 1999, hlm. 5-6

[2] M. Ryaas Rasyid, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta, Yayasan Wantapone, 1997, hlm. 167 – 169.

[3] Moh. Mahfud, Op. Cit, hlm. 8.

[4] A. ubaidillah… ( et al ), Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press, 2000, hlm. 163,

[5] Ibid, hlm. 164.

[6] Ibid, hlm. 165.

[7] Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 59 – 60.

[8] A. ubaidillah…( et al ), Op. Cit, hlm. 184.

[9] Ibid, hlm. 185 – 186.

[10] Sigmund Neumann, “ Modern Political Parties “, Comparative Politics: A Reader, diedit oleh Harry E. Eckstien dan David E. Apter, ( London: The Free Press of Glencoe, 1963 ), hlm. 352. Lihat terjemahan bahasa Indonesia, Infra.

[11] Herbert McCosky, “ Political Participation “, International Encyclopedia of The Social Sciences, ( Edisi ke-2; New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1972 ), XII, hlm. 252

[12] Abdul Muis, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik, Jakarta, Kompas, 2000, hlm. 56.

[13] Mahendra, Yusril Ihsza, Dinamika Tata Negara Indonesia, KompilasiAktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Gema Insani Press, 1996. Hlm. 90.

[14] Nurchalis Madjid dalam Prof. Dr. Azyumardi Azra. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Tim ICCE UIN Jakarta.Hlm. 112.

[15] Ibid.

Hukum Internasional

Hukum Internasional

Pengertian : adalah suatu hukum atau aturan yang dipakai sebagai acuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di antara negara-negara yang berdaulat

Hukum internasional pada dasarnya terbagi dalam 2 hal:

1. Hukum perdata internasional (Hukum antar Bangsa)

Mengatur hubungan antar warga antar negara

2. Hukum publik internasional (Hukum Internasional)

Mengatur hubungan hukum yang terjadi antar negara

Landasan hukum Hukum Internasional adalah Pasal 38 ayat 1 Piagam mahkamah Internasional

Sumber hukum Internasional

Dimaksud dengan ini adalah sumber yang dipakai sebagai acuan atau pegangan dalam menyelesaikan permasalahan internasional. Meliputi :

* Perjanjian internasional (1)
* Kebiasaan internasional (2)
* Asas-asas umum hukum (3)
* keputusan hakim (yurisprudensi) (4)
* ajaran para ahli hukum internasional (doktrin) (5) No 1 s/d3 disebut dengan sumber hukumprimer sedangkan no 4 dan 5 disebut dengan sumber hukum sekunder.

Subyek Hukum internasional

Disebut subyek hukum internasional adalah pelaku utama dalam permasalahan internasional, meliputi :

1. Negara

2. Tahta Suci (Vatikan)

3. Palang Merah internasional

4. Organisasi Internasional

5. Individu dalam kasus-kasus tertentu

6. Gerakan diluar organisasi resmi (Pemberontak)

Mengapa sering timbul pertikaian internasional? Karena :

a. 1. Sikap egois dan mau menang sendiri dari para pemimpin negara

b. 2. Keinginan untuk mempertahankan kekuasaan

c. 3. Adanya penguasa yang suka ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain

d. 4. Adanya ambisi penguasa untuk memperluas pengaruh ke negara ynag lebih lemah

e. 5. Dll

Apa sumber-sumber penyebab konflik?

a. 1. Sengketa territorial, yaitu sengketa yng dipicu perebutan/persoalan wilayah kedaulatan

b. 2. Separatisme, yaitu sengketa yang disebabkan adanya upaya pemisahan diri

c. 3. Primordialisme, sengkata yang dipicu kebanggaan atas sukunya

d. 4. Kedaulatan, sengketa yang dipicu adanya keinginan untuk membebaskan diri dari kekuasaan atau pengaruh bangsa lain

e. 5. Dll

Untuk menyelesaikan permasalahan internasional maka PBB membentuk lembaga yang disebut Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag (Belanda).
Mahkamah Internasional mempunyai 2 kewenangan utama yaitu :

a. Melaksanakan contentious jurisdiction, atau menyelesaikan perkara biasa

b. Memberikan advisory opinion, yaitu memberikan nasehat yang bersifat tidak mengikat

Permasalahan dapat disidangkan apabila keduabelah pihak sepakat untuk diselesaikan dalam Mahkamah Internasional. Keputusan diambil atas dasar suara mayoritas

Hubungan Internasional

Hubungan Internasional

• Pengertian

Hubungan kerjasama yang dilakukan oleh 2 atau lebih negara merdeka dan berdaulat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

• Tujuan-tujuan itu antara lain :

– Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat masing-masing negara

– Untuk mencegah/menghindari konflik yang mungkin terjadi

– Untuk memperoleh pengakuan sebagai negara merdeka

– Untuk mempererat hubungan antar negara di berbagai bidang

– dll

• Macam-macam perjanjian internasional

1. Kerjasama Bilateral

- Perjanjian yang dilakukan oleh hanya 2 negara saja, bersifat treaty contract

- mis : Indonesia - Cina

2. Kerjasama Regional

- Perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara yang terdapat dalam 1 kawasan, bersifat law making treaty terbatas dan treaty contract

- mis : ASEAN, Uni Eropa

3. Kerjasama Multinasional

- Perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara tanpa dibatasi oleh suatu region tertentu, bersifat internasional, bersifat law making treaty

- mis : PBB, FIFA

• Dari sekian banyak perjanjian internasional, yang terpenting hanya 3 yaitu : Traktat, Konvensi, Pakta.

• Dalam pembuatan perjanjian internasional, tahap yang harus dilalui ada 3 :

– Perundingan (negotiation)

• Tim perunding harus mempunyai surat “full powers”,yaitu surut yang menunjukkan bahwa si pembawa surat adalah wakil resmi tertinggi dari negaranya yang diutus untuk mengadakan negosiasi

– Penandatanganan (signature)

– Pengesahan (Ratification)

• Ada 3 lembaga, lembaga eksekutif (presiden/PM), Legislatif (parlemen), Campuran (keduabelah pihak)

• Kapan perjanjian internasional dapat mulai berlaku?

– Sesuai yang disebut dalam naskah perjanjian itu

– Apabila di dalam naskah tidak tercantum mulai saat berlakunya, maka didasarkan kepada kesepakatan di antara mereka

• Ketaatan terhadap perjanjian

– Perjanjian harus dipatuhi (pacta sunt servanda)

– Kesadaran hukum nasional, pelaksanaan Perjanjian internasional dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan hukum nasional

• Penerapan perjanjian

– Daya berlaku surut (retroactivity), artinya aturan perjanjian berlaku juga terhadap permasalahan yang terjadi sebelum perjanjian itu dibuat

– Wilayah penerapan (teritorial scope),ditentukan dalam perjanjian

– Perjanjian penyusul (successive treaty), dibuat perjanjian baru karena yang lama tidak sesuai lagi dengan perjanjian.



Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

— Landasan hukum

¡ Ideal : Pancasila

¡ Struktural : Pembukaan UUD 45 alinea I &IV

¡ Operasional : Tap MPR/MPRS

— Latar Belakang

¡ Adanya kekhawatiran akan persaingan antar blok barat dan timur, akan menyeret Indonesia ke ajang persaingan tersebut karena sasarannya adalah negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

¡ Adanya tekad kuat untuk menjadi subyek dalam kegiatan internasional, dan keinginan untuk berpartisipasi dalam perdamaian dunia.

— Sifat Politik luar negeri

¡ Bebas dan aktif

— Pelaksanaan Politik Luar negeri

¡ Era 1945 – 1949 .masa mempertahankan kemerdekaan

¡ Era 1949 – 1950 . Masa berbentuk serikat

¡ Era 1950 – 1959 . Masa liberalisme, model barat

¡ Era 1959 – 1966 . Masa pro timur, komunisme

¡ Era 1966 – 1998 . Masa Orde baru

¡ Era 1998 – skr . Masa reformasi



PERSERIKATAN BANGSA BANGSA (PBB)

— Sejarah berdiri

Adanya upaya mewujudkan perdamaian dunia yang digagas oleh Winston Churchill (Inggris) dan FD. Roosevelt (USA) ditunjukkan dengan ditandatanganinya piagam “Atlantic Charter” tgl 14 Agustus 1941, disebut sebagai embrio lahirnya PBB

— Berdiri secara resmi 24 Oktober 1945 lewat piagam San Fransisco yang ditandatangani 50 negara sebagai anggota asli.

— Tujuan :

— Menciptakan perdamaian dan keamanan internasional

— Mencegah perang antar negara

— Membina hubungan antar bangsa di berbagai bidang

— Kantor pusat di New York USA

— Alat Kelengkapan (Badan-badan) PBB

— Majelis Umum (MU)

— Dewan Keamanan

— Dewan Ekonomi dan Sosial (Ecosoc)

— Dewan Perwalian

¡ Mahkamah Internasional

¡ Sekretariat Jendral

— Peranan PBB

1. Mengirimkan pasukan perdamaian ke berbagai negara

2. Menjadi fasilitator berbagai perundingan perdamaian

3. Memberi bantuan ke negara-negara yang membutuhkan

4. Membimbing negara yang baru merdeka agar bisa mandiri

5. Menghukum/memberi sangsi kepada negara yang melanggar aturan internasional dan mengganggu perdamaian

Demokrasi dan Pelaksanaannya di Indonesia

Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaanwarga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Atau dengan kata lain, Demokrasi dapat dikatakan sebagai kekuasaan atau pemerintahan ada ditangan rakyat, yaitu kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Macam-Macam Demokrasi:

1. Demokrasi Sederhana (terdapat di desa).
2. Demokrasi Barat (kontinen dan Amerika, terdapat di barat).
3. Demokrasi Kapitalis.
4. Demokrasi Timur (Negara sosialis seperti Unisoviet, cina, Korut).
5. Demokrasi Tengah (dianut saat Jerman masa Hitler Dan Itali Masa Mussolini).
6. Demokrasi Parlementer adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif.
7. Demokrasi sistem pemisahan kekuasaan.
8. Demokrasi sistem referendum adalah pengawasan dilakukan oleh rakyat dengan cara referendum.

Model Demokrasi:

1. Model demokrasi berwawasan radikal (radical democracy)adalah demokrasi yang ditandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak setiap warganegara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum.
2. Model demokrasi berwawasan liberal (liberal democracy) merupakan demokrasi yang lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warganegara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
3. Model demokrasi klasik Athena.
4. Model demokrasi republikanisme protektif dan republika-nisme perkembangan.
5. Model demokrasi pro-tektif dan demokrasi developmental, dimana demokrasi ini menempatkan penge-tahuan berpolitik bagi individu, dan bukan menyandarkan mereka pada perlindungan penguasa.
6. Model demokrasi langsung, yang menempatkan tiap individu memilih dan merealisasikan keinginan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
7. Model demokrasi kompetisi elite, yang berisi metode pemilihan elite politik yang mampu mengambil keputusan yang diperlukan.
8. Model pluralisme, yaitu mementingkan kebebasan politik bagi minoritas.
9. Model demokrasi legal, yang mementingkan prinsip mayoritas yang mampu berfungsi dengan pantas dan bijak.
10. Model demokrasi partisipatif, yaitu sebuah hak yang sama pada kebebasan dan pengem-bangan diri yang dapat diperoleh dalam sebuah ‘masyarakat partisipatif’.
11. Model demokrasi deliberatif, yaitu persya-ratan kelompok politik yang dilakukan dengan kesepakatan warga negara yang bebas dan berdasarkan pada nalar.
12. Model otonomi demokrasi dan demo-krasi kosmopolitan, yaitu demokrasi yang mementingkan kesetaraan dalam sebuah komunitas nasib yang saling melengkapi.
13. Model demokrasi Terpimpin.
14. Model demokrasi Pancasila.

Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia

Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia dibagi menjadi beberapa periodesasi:

1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 - 1950 ).

Tahun 1945 - 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :

* Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
* Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
* Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer

2. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama

a. Masa demokrasi Liberal 1950 - 1959

Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.

Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :

* Dominannya partai politik
* Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
* Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950

Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

* Bubarkan konstituante
* Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
* Pembentukan MPRS dan DPAS

b. Masa demokrasi Terpimpin 1959 - 1966

Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:

1. Dominasi Presiden
2. Terbatasnya peran partai politik
3. Berkembangnya pengaruh PKI

Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:

1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan
2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
3. Jaminan HAM lemah
4. Terjadi sentralisasi kekuasaan
5. Terbatasnya peranan pers
6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)

Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI.

3. Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 - 1998

Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:

1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
2. Rekrutmen politik yang tertutup
3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
4. Pengakuan HAM yang terbatas
5. Tumbuhnya KKN yang merajalela

Sebab jatuhnya Orde Baru:

1. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
2. Terjadinya krisis politik
3. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
4. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden
5. Pelaksanaan demokrasi pada masa Reformasi 1998 s/d sekarang.

Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.

Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:

1. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV

Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.

Referensi

[1] “Pelaksanaan demokrasi di indonesia.” Http://www.edupkn.smansarbg.com/ pelakdemo.html

[2] “Mengawal demokrasi. ” Http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/archive_ wacana/kliping_wawasan/klip_wsn_2006/wawasan_179.htm

[3] “Arti kehidupan tertib dalam negara demokrasi.” Http://tutorial.mysimplebiz.info/isi/ ppkn3.htm

[4] Irwan prayitno. “Perkembangan dmokrasi di indonesia: Cabaran dan Pengharapan.” Http://www.pas.org.my/kertaskerja/perkembangan_demokrasi_di_indonesia_cabaran_dan_pengharapan.pdf

[5] “Implementasi demokrasi ekonomi di indonesia.” Http://www.damandiri.or.id/file/ buku/subiaktobukukoperasibab1.pdf

[6] “Pelaksanaan demokrasi di indonesia dalam berbagai kurun waktu.” Http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=18&fname=ppkn106_04.htm

[7] “Hak - Hak Warga Negara Indonesia.” Http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=21&fname=ppkn203_03.htm

Kekuasaan negara

Negara (sebagai suatu organisasi di suatu wilayah) memiliki kekuasaan untuk memaksakan kedudukannya secara sah terhadap semua golongan yang ada dalam wilayah itu dan menetapkan tujuan kehidupan bersama. Negara berkewajiban menetapkan cara dan batas kekuasaan untuk digunakan dalam kehidupan bersama, sehingga dapat membimbing berbagai kegiatan penduduk ke arah tujuan bersama.

Teori Asal kekuasaan negara

1) Teori Teokrasi

Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan. Pertanyaannya, apakah negara semacam ini pernah ada dan apakah Tuhan sendiri yang memerintah?

Teori Teokrasi tak Langsung: disebut tak langsung karena bukan Tuhan sendiri yang memerintah, melainkan raja (atas nama Tuhan). Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Anggapan ini timbul dalam sejarah pada sekumpulan manusia yang tergabung dalam partai konvensional (agama) di negara Belanda. Mereka berpendapat bahwa raja Belanda dan rakyatnya dihadapkan pada suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari Tuhan untuk memakmurkan negara Belanda, termasuk daerah jajahannya.

2) Teori Kekuasaan

Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes dan Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes membedakan dua macam status manusia: status naturalis - kedudukan manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis - kedudukan manusia setelah menjadi warga negara suatu negara.

3) Teori Yuridis

Teori ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga golongan:

a) Teori Patriarkhal

Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga (primus inter pares = yang utama di antara sesamanya) menjadi pemimpin yang dipuja-puja karena kekuatannya atau jasa dan atau kebijaksanaannya.

b) Teori Patrimonial

Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang berarti hak milik. Karena rajalah pemegang hak milik di wilayah kekuasaannya, maka semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh, pada abad pertengahan hak untuk memerintah dan menguasai timbul dari pemilikan tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Jika perang berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut membela negara akan mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.

c) Teori Perjanjian

Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan oleh tiga tokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau. Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu perjanjian masyarakat yang mengalihkan manusia dari status naturalis ke status civilis.

Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu hidup dalam ketakutan akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat. Maka kemudian diadakan perjanjian masyarakat yang tidak mengikutsertakan raja. Perjanjian diadakan antarakyat. Dalam perjanjian masyarakat (pactum unionis) itu individu-individu menyerahkan hak-hak azasinya kepada suatu kolektivitas, yaitu kesatuan individu-individu. Kolektivitas itu kemudian menyerahkan hak-hak atau kekuasaannya kepada raja dalam pactum subiectionis tanpa syarat apa pun. Itulah sebabnya raja berkekuasaan mutlak (monarkhi absolut).

Sedangkan John Locke menyatakan bahwa perjanjian itu diadakan antara raja dan rakyat, sehingga raja dapat memegang kekuasaannya untuk melindungi hak-hak rakyat. Kalau raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat meminta pertanggungjawabannya, karena yang primer adalah hak-hak azasi yang harus dilindungi oleh raja. Akibat dari perjanjian antara rakyat dengan raja itu timbullah monarkhi konstitusional atau monarkhi terbatas karena kedudukan raja kini dibatasi konstitusi.

Pendapat Rousseau adalah kebalikan dari paham Hobbes. Menurut Hobbes, pactum unionis itu “ditelan” oleh pactum subiectionis. Sedangkan menurut Rousseau justru sebaliknya. Tujuan ajaran Rousseau adalah timbulnya kedaulatan rakyat dan kedaulatan itu tidak pernah diserahkan kepada raja. Kalau pun raja yang memerintah, sesungguhnya kekuasaan pemerintahan itu diperolehnya dari rakyat. Raja adalah mandataris rakyat.
Teori Pemisahan Kekuasaan Negara

John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:

1. Legislatif: kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2. Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3. Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu - seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku “L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku di Inggris:

1. Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat (parlemen);
2. Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3. Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya).

Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.

Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif.

Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?

Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya.

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Arwan Sabditama

Kirim Komentarnya ya!!